Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Data Ekonomi AS Solid, S&P 500 Pecah Rekor Lagi

S&P 500 naik enam hari berturut-turut, atau kenaikan beruntun terpanjang sejak Februari 2021.
Tanda Wall Street tampak di depan Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS./ Michael Nagle - Bloomberg
Tanda Wall Street tampak di depan Bursa Efek New York (NYSE) di New York, AS./ Michael Nagle - Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA – Indeks saham di Bursa Efek New York, Wall Street, Amerika Serikat (AS) kembali menembus rekor baru pada penutupan perdagangan Kamis (1/7/2021) waktu setempat setelah laporan data ekonomi AS yang kuat.

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (3/7/2021), Dow Jones Industrial Average ditutup melejit 0,38 persen ke posisi 34.633,53, S&P 500 naik 0,52 persen ke  level 4.319,94, dan Nasdaq 100 bertambah 0,03 persen ke level 14.560,05.

S&P 500 naik enam hari berturut-turut, atau kenaikan beruntun terpanjang sejak Februari 2021. Penguatan dibantu oleh saham energi, sementara saham perusahaan teknologi tertinggal.

Data teranyar menunjukkan ekspansi manufaktur AS yang solid dan penurunan klaim pengangguran yang lebih besar dari perkiraan, menutupi kekhawatiran tentang penyebaran varian Covid-19 yang lebih menular.

Dolar AS terpantau menguat dan imbal hasil US Treasury naik tipis menjelang laporan penggajian pada Jumat ini, yang akan membantu memandu pandangan tentang kapan Federal Reserve dapat mulai menarik kembali stimulus.

Presiden Fed Philadelphia Patrick Harker mengatakan pemotongan pembelian aset sebesar US$10 miliar per bulan mungkin masuk akal dan pihaknya lebih suka memulai proses tersebut tahun ini.

Adapun harga minyak mentah terangkat lebih tinggi karena aliansi OPEC+ turun ke pertikaian sengit, menimbulkan keraguan pada kesepakatan yang dapat meredakan lonjakan harga.

Investor bakal kian mencermati data laporan penggajian tenaga kerja AS yang akan datang untuk mengetahui seberapa dekat The Fed akan mengurangi akomodasi kebijakan karena laporan pekerjaan membaik dan tekanan inflasi meningkat.

Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan bank sentral AS kemungkinan akan mulai mengurangi pembelian aset pada paruh pertama 2022, dan mungkin perlu menaikkan suku bunga akhir tahun itu atau pada awal 2023.

"Dengan prospek pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang kuat, kebijakan yang akomodatif, dan valuasi yang masih menarik relatif terhadap obligasi, kami percaya kondisi pasar saat ini mendukung kenaikan ekuitas lebih lanjut," Mark Haefele, kepala investasi di UBS Global Wealth Management.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Farid Firdaus
Editor : Farid Firdaus
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper