TikTok Beli Tokopedia Tanda Monopoli? Ini Jawaban KPPU

Crysania Suhartanto
Selasa, 26 Maret 2024 | 06:22 WIB
Warga mengakses aplikasi Tiktok di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Warga mengakses aplikasi Tiktok di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) masih mengkaji mengenai dampak akuisisi 75% saham Tokopedia oleh TikTok terhadap persaingan usaha. 

Wakil Ketua KPPU Aru Armando mengatakan pihaknya masih harus memproses notifikasi dari TikTok, selaku pihak yang melakukan aksi korporasi. Adapun keputusan monopoli atau tidak akan ditentukan berdasarkan kajian dari notifikasi.

“Kalau akuisisi itu, kita akan melakukan proses penilaian atas notifikasi yang dilakukan TikTok ke KPPU. Jadi mereka akan notifikasi, nanti dari notifikasi akan kita nilai,” ujar Aru kepada wartawan di Cikini, Senin (25/3/2024).

Adapun Aru mengatakan hal yang harus dinotifikasi oleh TikTok adalah batasan threshold nilai aset atau omzet, transaksi yang dilakukan pihak yang tidak saling berafiliasi, dan perubahan pengendalian. 

Aru masih menunggu notifikasi tersebut untuk diproses. Dia belum dapat berbicara banyak. 

“Kita belum tahu ya, saya takut salah jawab sudah ada belum,” Aru mengakui.

Diketahui, pada Desember 2023 PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO) dan TikTo, mengumumkan kemitraan strategis. 

Pada aksi korporasi ini, TikTok menginvestasikan lebih dari US$1,5 miliar atau setara Rp23,27 triliun dengan kurs Rp15.517, sebagai komitmen jangka panjang untuk mendukung operasional Tokopedia. Saham GOTO dalam Tokopedia tidak akan terdilusi.

Atas aksi tersebut, Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec) Tesar Sandikapura mengatakan, penerbitan Permendag No. 31/2023 seakan sia-sia karena pemerintah gagal mencegah risiko monopoli yang dilakukan TikTok.

Menurutnya, dengan TikTok membeli Tokopedia pun sudah bisa disebut sebagai monopoli.  

"Ini logikanya buat aturan untuk apa? Kalau tujuannya untuk menghilangkan monopoli ya artinya pembelian Tokopedia oleh TikTok saja itu sudah menyalahi aturan sebenarnya," ujar Tesar saat dihubungi.

Kasus TikTok di Indonesia, kata Tesar, serupa dengan yang pernah terjadi di Singapura saat Grab mengakuisisi sebagian saham Uber pada 2018. Bedanya, saat itu otoritas Singapura bereaksi keras menentang penggabungan dua perusahaan teknologi jasa transportasi itu karena dianggap sebagai tindakan memonopoli atau mengurangi persaingan usaha.

Melansir Reuters, Badan Pengawas Antimonopoli Singapura mendenda perusahaan Grab dan Uber sebesar US$9,5 juta atas kesepakatan merger mereka.

Sikap pemerintahan yang tegas atas risiko monopoli yang dilakukan sebuah perusahaan teknologi juga dilakukan oleh Uni Eropa terhadap Apple. Pemerintahan di sana bahkan mendenda Apple sebesar 500 juta euro atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Antimonopoli.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini di sini:

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Topik-Topik Pilihan

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper