Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sempat Bangkit, Ekspor Karet Sumut Anjlok 2.249 Ton pada April 2022

Meski sempat merangkak naik pada Maret lalu, kinerja ekspor karet Sumatra Utara akhirnya kembali merosot pada April 2022.
Petani memanen getah karet di Bajubang, Batanghari, Jambi, Rabu (12/1/2022)./Antara-Wahdi Septiawan
Petani memanen getah karet di Bajubang, Batanghari, Jambi, Rabu (12/1/2022)./Antara-Wahdi Septiawan

Bisnis.com, MEDAN - Meski sempat merangkak naik pada Maret lalu, kinerja ekspor karet Sumatra Utara akhirnya kembali merosot pada April 2022.

Berdasar data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra Utara, volume ekspor karet tercatat 31.633 ton pada saat itu. Jumlahnya berkurang 2.249 ton atau sekitar 6,6 persen secara month to month (mtm) dibanding volume ekspor Maret 2022 yang mencapai 33.882 ton.

Menurut Sekretaris Gapkindo Sumatra Utara Edy Irwansyah, setidaknya ada dua penyebab kinerja ekspor karet anjlok pada April 2022.

Penyebab pertama yakni permintaan dari buyer industri pabrikan ban yang berkurang. Saat ini, pabrik-pabrik ban cenderung membeli karet dari Thailand. Sebab, harganya relatif lebih murah dibanding harga karet asal Indonesia.

Pada April 2022, karet Sumatra Utara hanya diekspor ke 26 negara. Sedangkan pada Maret 2022, jumlahnya mencapai 31 negara. Dengan kata lain, tujuan ekspor telah berkurang lima negara.

Penyebab kedua adalah produktivitas. Dari segi pasokan, perkebunan karet di Sumatra Utara sebenarnya sudah mulai membaik. Akan tetapi, proses produksi masih kerap terkendala. Utamanya oleh faktor cuaca.

Belakangan ini, frekuensi curah hujan di sejumlah daerah meningkat dan memengaruhi kondisi perkebunan karet di Sumatra Utara.

"Pengapalan pada Januari dan Februari terjadi penurunan masing-masing 18 persen dan 12 persen. Kemudian, terjadi kenaikan 18 persen pada pengapalan Maret. Namun, pada April kembali anjlok mencapai 6,6 persen," kata Edy, Selasa (10/5/2022) malam.

Setelah dua bulan berturut merosot, kinerja ekspor karet Sumatra Utara sempat meniup angin segar pada Maret 2022 dan diyakini jadi titik balik kebangkitan. Namun, optimistis itu seketika buyar pada April 2022 atau selang sebulan berikutnya.

Kontrak Tertunda Kerek Kinerja

Berdasar catatan Bisnis, tren penurunan kinerja ekspor karet Sumatra Utara sudah terlihat sejak awal tahun. Pada Januari 2022, volume ekspor karet mentok seberat 32.608 ton. Padahal, volume ekspor sempat tembus 39.636 ton pada Desember 2021 dan berhasil tumbuh 7,5 persen dibanding bulan sebelumnya.

Pertumbuhan volume ekspor pada Desember juga menjadi yang tertinggi sepanjang tahun 2021 lalu, meskipun peningkatan tersebut sebenarnya dipacu oleh realisasi kontrak tertunda akibat delay shipment pada bulan-bulan sebelumnya.

Situasi kemudian berubah tatkala tahun berganti. Kinerja ekspor karet Sumatra Utara langsung terjun bebas pada Januari 2022. Tak tanggung-tanggung, penurunan volume ekspor mencapai 7.028 ton atau 17,7 persen (mtm).

Tak sampai di situ, masa suram ekspor karet Sumatra Utara ternyata berlanjut hingga Februari 2022. Kala itu, volume ekspor tercatat hanya 28.698 ton atau kembali turun 11,99 persen (mtm). Bukan hanya secara month to month, total volume ekspor karet kurun Januari - Februari 2022 juga diketahui merosot dari periode yang sama tahun 2021 atau secara year on year (yoy). Penurunannya mencapai 5,65 persen menjadi 61.305 ton.

Pada Februari 2022, karet-karet tersebut dikirim ke 30 negara, termasuk Rusia. Sedangkan yang paling banyak mengimpor adalah Jepang. Kontribusinya mencapai 39,02 persen dari total volume.

Setelah dua bulan terseok-seok, rasa optimis sempat bangkit pada Maret 2022. Saat itu, volume ekspor karet Sumatra Utara tercatat 33.882 ton atau naik 18,1 persen (mtm) dibanding Februari 2022. Kenaikan tersebut terjadi seiring peningkatan demand. Khususnya dari China, Brazil, dan Turki. Selain itu, persoalan delay shipment atau penundaan pengapalan mulai jarang terjadi.

Walau meningkat secara month to month, laju ekspor karet Sumatra Utara justru turun jika dihitung secara year on year. Pada Triwulan I 2022, total volume ekspor tercatat 95.188 ton. Jumlah ini turun 4,97 persen (yoy) dibanding periode yang sama tahun lalu.

Pada Maret 2022, masih terdapat 31 negara tujuan ekspor karet Sumatra Utara. Yang terbanyak mengimpor juga tetap Jepang. Kali ini kontribusinya 38,70 persen. Sedangkan Rusia sudah tidak lagi masuk dalam daftar pangsa karena faktor geopolitik dengan Ukraina.

Saat harapan mulai merekah, masa suram tiba-tiba terulang. Kinerja ekspor karet Sumatra Utara kembali merosot pada April 2022. Volumenya hanya tercatat 31.633 ton, berkurang 2.249 ton atau sekitar 6,6 persen (mtm) dibanding Maret 2022. "Kinerja ekspor karet Sumatra Utara hingga saat ini cenderung menurun," kata Edy.

Selain volume ekspor yang kembali anjlok, persoalan harga juga melanda industri karet. Sepanjang April 2022, fluktuasi harga komoditas karet jenis Technical Speciefied Rubber 20 (TSR20) di bursa berjangka Singapura begitu aktif.

Pada Senin (25/4/2022) lalu contohnya. Harga TSR20 hanya dipatok senilai US$1,614 per kilogram, turun 10 persen dari harga tertinggi sepanjang April 2022. Penurunan itu berlanjut hingga beberapa hari kemudian.

Menurut Edy, setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan harga karet TSR20 di bursa berjangka Singapura semakin turun belakangan ini.

Pertama, dampak kebijakan dalam negeri Tiongkok atau China soal pandemi Covid-19. Saat itu, negara tirai bambu kembali menerapkan lockdown. Kebijakan tersebut secara langsung memengaruhi laju perdagangan internasional mereka.

China diketahui merupakan konsumen atau importir komoditas karet terbesar di dunia. Jika permintaan dari negara tersebut berkurang, maka dampaknya langsung terasa signifikan di pasar global.

Kedua, daya saing produktivitas ataupun harga karet asal Thailand lebih unggul dan murah ketimbang negara produsen karet alam lainnya. "Diperkirakan harga pada bulan depan (Mei 2022) masih stagnan," kata Edy.

Petani Lirik Sawit

Iwan, seorang petani asal Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara, harga karet mentah mutu tinggi dipatok Rp11.000 per kilogram di daerahnya.

Iwan juga membeberkan bahwa banyak petani karet atau pemilik lahan yang kini telah beralih ke kelapa sawit. Pilihan itu dilandasi pertimbangan harga jual. Bertani kelapa sawit dianggap lebih menjanjikan ketimbang karet.

"Kalau kami lihat, pemerintah pun selama ini cenderung hanya memperhatikan perkebunan sawit daripada karet. Akhirnya banyak petani yang sekarang mengubah ladang karetnya menjadi ladang sawit," kata Iwan kepada Bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper