Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Risiko Gagal Bayar BUMN Karya Hantui Penerbitan Obligasi Korporasi

Iklim penerbitan obligasi korporasi pada tahun ini dihantui oleh risiko gagal bayar oleh BUMN Karya.
Fahmi Ahmad Burhan,Rizqi Rajendra
Senin, 19 Februari 2024 | 06:00
Pekerja menggunakan alat berat beraktivitas di proyek infrastruktur milik salah satu BUMN Karya di Jakarta, Kamis (13/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menggunakan alat berat beraktivitas di proyek infrastruktur milik salah satu BUMN Karya di Jakarta, Kamis (13/2/2020). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA -- Iklim penerbitan obligasi korporasi pada tahun ini dihantui oleh risiko gagal bayar oleh BUMN Karya.

Penerbitan obligasi korporasi diramal tembus hingga Rp140 triliun sepanjang 2024. Di lain sisi, risiko gagal bayar obligasi dari BUMN Karya menjadi sentimen negatif terhadap pasar obligasi korporasi tahun ini.

Head of Fixed Income Research Sinarmas Sekuritas Aryo Perbongso mengatakan, dengan adanya ekspektasi tingkat suku bunga The Fed yang turun pada pertengahan tahun ini, akan mendorong emiten untuk menerbitkan obligasi korporasi guna mendapatkan biaya dana atau cost of fund yang murah.

"Hal ini sesuai dengan ekpektasi penerbitan obligasi korporasi yang akan meningkat sebesar Rp120 triliun-Rp140 trilliun, atau meningkat signifikan dibandingkan dengan penerbitan selama tahun 2023 sebesar Rp102,2 trilliun," ujar Aryo kepada Bisnis, dikutip Minggu (18/2/2024).

Kendati demikian, dia mengatakan, pada tahun 2024 terdapat risiko gagal bayar obligasi korporasi, meski tergantung terhadap kondisi masing-masing perusahaan. Menurutnya, sektor konstruksi memiliki risiko tinggi terkait gagal bayar obligasi.

Aryo menjelaskan, jika berdasarkan data perusahaan tercatat per 30 September 2023, rata-rata perusahaan sektor konstruksi memiliki credit matrix yang berisiko, yang ditunjukkan oleh average debt to equity ratio sebesar 277,7 kali, debt to EBITDA ratio sebesar 239,9 kali, dan coverage interest ratio sebesar negatif 1,05 kali.  

"Hal tersebut menunjukkan bahwa risiko kredit di sektor tersebut cukup tinggi yang salah satunya terdapat kejadian gagal bayar dari BUMN Karya," pungkas Aryo.

Diberitakan sebelumnya, lembaga Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) mengungkapkan proyeksi mengenai risiko gagal bayar obligasi, terutama dari BUMN Karya. Pasalnya, sejumlah BUMN Karya akan menghadapi jatuh tempo obligasi usai Pilpres 2024. 

Kepala Divisi Pemeringkatan Non Jasa Keuangan 2 Pefindo Yogie Surya mengatakan, risiko gagal bayar obligasi korporasi akan selalu ada. Namun, hal itu tergantung bagaimana setiap emiten bisa memitigasi risiko refinancing atau pembiayaan kembali. 

“Memang kami sadari bahwa sektor konstruksi, terutama BUMN Karya sedang dalam sorotan karena sudah ada dua BUMN karya yang besar yang gagal bayar. Tentu ini kami lihat sebagai suatu kredit negatif di dalam penilaian kami," ujar Yogie dalam konferensi pers, dikutip Kamis (15/2/2024). 

Sebagai pengingat, pada tahun lalu ada dua BUMN Karya yang gagal bayar, yakni PT Waskita Karya Tbk. (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA). Namun, Yogie mengatakan kasus itu tidak bisa disamaratakan dengan BUMN Karya lainnya karena beban utang WIKA dan WSKT relatif lebih tinggi terkait dengan proyek investasi.

Dari catatan Bisnis, emiten BUMN Karya, seperti PT Adhi Karya (Persero) Tbk. (ADHI), PT PP (Persero) Tbk. (PTPP), WIKA dan WSKT akan menghadapi sejumlah utang jatuh tempo sebesar Rp4,47 triliun pada 2024.

Namun, menurut Yogie, BUMN Karya, seperti PTPP, Adhi Karya, dan Hutama Karya masih memiliki kondisi fundamental yang cukup baik dalam memitigasi risiko gagal bayar obligasi korporasi.

Misalnya, ADHI tercatat memiliki dua surat utang yang jatuh tempo pada 25 Juni 2024 dan 24 Agustus 2024 dengan nilai total Rp947 miliar.

Selanjutnya, PTPP akan menghadapi utang obligasi senilai Rp1,1 triliun pada 2024. Jumlah itu berasal dari dua obligasi yang akan jatuh tempo pada 2 Juli 2024 dan 27 November 2024.

Tantangan Bagi Bank Himbara

Sementara itu, himpunan bank milik negara (Himbara) juga mengantisipasi risiko lainnya, yakni utang jumbo BUMN karya.

Sejumlah BUMN karya memang didera utang di sejumlah Himbara. PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) misalnya mengacu laporan keuangan Waskita per 30 September 2023, mempunyai perjanjian restrukturisasi dengan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Rp7,45 triliun, Bank Mandiri Rp4,56 triliun, dan BRI Rp2,69 triliun. 

PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA) pun masih mencatatkan tumpukan utang di Himbara. Tercatat, WIKA memiliki utang di Bank Mandiri Rp3,87 triliun, BRI Rp990 miliar, dan BNI Rp504 miliar.

Dalam perkembangannya, WIKA telah mendapatkan kesepakatan restrukturisasi oleh 11 kreditur perbankan melalui penandatanganan master restructuring agreement (MRA) yang disaksikan oleh Kementerian BUMN pada Januari 2024. Sementara, restrukturisasi Waskita Karya masih berprogres.

Dalam hal utang jumbo WIKA dan Waskita Karya, Bank Mandiri pun berupaya terus memantau restrukturisasi. Seiring dengan itu, Bank Mandiri memperkuat pencadangan guna menjaga kualitas aset. Pencadangan untuk kredit BUMN karya akan dievaluasi secara periodik.

"Mengikuti proses restrukturisasi tersebut, BUMN karya akan melakukan perbaikan model bisnis agar tetap going concern dengan kinerja yang sustain ke depan, meskipun masih dalam restrukturisasi dengan beberapa kreditur," ujar Ahmad Siddik Badruddin, yang kala itu masih menjabat Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri dalam paparan kinerja pada beberapa waktu lalu. 

Adapun, per akhir Desember 2023, Bank Mandiri telah meningkatkan NPL coverage bank only dari 311% menjadi 384% secara tahunan.

Bank Mandiri sendiri telah mencatatkan perbaikan kualitas asetnya pada 2023. Tercatat, NPL gross BMRI turun dari 1,88% pada 2022 menjadi 1,02% pada 2023. Kemudian, NPL nett BMRI turun dari 0,26% ke 0,29%.

Selain Bank Mandiri, BNI pun meningkatkan pencadangan mereka seiring dengan masih berkutatnya utang jumbo Waskita Karya dan WIKA. Tercatat, NPL coverage BNI naik dari 278,3% pada Desember 2022 menjadi 319% pada Desember 2023.

Sementara itu, BNI mencatatkan perbaikan kualitas asetnya pada 2023. NPL gross turun dari 2,81% pada 2022 menjadi 2,14% pada 2023. Meskipun, NPL nett naik dari 0,49% ke 0,61%.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan Waskita dan WIKA memang masih dalam upaya proses restrukturisasi kepada kreditur dalam upaya menjaga kinerja perseroan.

Dua BUMN karya itu juga tengah berproses untuk perbaikan tata kelola dan manajemen risiko, termasuk transformasi bisnis, efisiensi, serta divestasi atas aset.

"OJK senantiasa memonitor restrukturisasi yang akan dilakukan BUMN karya sehingga dapat dilaksanakan secara terukur dan prudent dengan tetap memperhatikan berbagai kepentingan," ujarnya dalam jawaban tertulis beberapa waktu lalu (11/1/2024).

OJK pun meminta perbankan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta ketentuan yang berlaku dalam penyaluran kredit. OJK juga meminta bank untuk membentuk pencadangan kredit yang memadai dalam mengantisipasi potensi kerugian sesuai ketentuan yang berlaku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper