Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Siasat Kalbe Farma (KLBF) & Kimia Farma (KAEF) Bertahan di Tengah Pelemahan Rupiah

Melemahnya nilai tukar rupiah membuat emiten farmasi, Kalbe Farma (KLBF) dan Kimia Farma (KAEF) harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan baku obat.
Kantor PT Kalbe Farma Tbk./kalbe.co.id
Kantor PT Kalbe Farma Tbk./kalbe.co.id

Bisnis.com, JAKARTA — Tren pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini, menjadi sentimen negatif bagi PT Kalbe Farma Tbk. (KLBF) dan PT Kimia Farma Tbk. (KAEF) disebabkan tingginya proporsi penggunaan bahan baku impor dalam pembuatan berbagai produk obat-obatan.

Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius pun membenarkan bahwa pelemahan rupiah terhadap dolar AS akan berdampak buruk pada perusahaan farmasi yang dikepalainya itu. Dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang AS, maka perseroan harus merogoh kocek yang lebih dalam untuk keperluan biaya impor bahan baku,

Terlebih lagi, hampir 90 persen bahan baku pembuatan obat Kalbe Farma masih bergantung pada impor.

Berkaca pada kondisi tersebut, Vidjongtius menyebut bahwa KLBF akan membuka peluang untuk menaikkan harga produk obat-obatan. Dia mengatakan, perseroan dalam waktu dekat akan mengkaji rencana untuk menaikkan harga jual produk jika rupiah terus terkikis terhadap dolar AS.

Namun, rencana tersebut nampaknya akan menjadi strategi terakhir KLBF dalam menghadapi dampak pelemahan rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, perseroan akan terlebih dahulu berusaha untuk mengoptimalkan kombinasi strategi product mix dan meluncurkan berbagai produk inovasi yang dibuat dengan menggunakan bahan baku lokal.

Di hubungi terpisah, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Kimia Farma Lina Sari mengatakan bahwa perseroan telah menyiapkan amunisi untuk menghadapi fluktuasi rupiah.

Salah satunya ialah memastikan ketersediaan bahan baku obat hingga akhir tahun 2023. Lina mengatakan, KAEF telah melakukan kontrak kesepakatan dengan supplier terkait dengan estimasi jumlah kebutuhan bahan baku dengan harga yang juga telah disepakati.

Langkah ini pun diharapkan dapat meminimalisir potensi kerugian yang akan dialami emiten farmasi tersebut seiring melemahnya nilai tukar rupiah terhadap AS.

"Strategi ini juga menambah daya tawar perseroan menjadi semakin tinggi, hal ini turut menjadi salah satu upaya perseroan dalam melakukan  hedging, karena saat ini penggunaan bahan baku impor masih sekitar 91,56 persen" jelasnya kepada Bisnis, Rabu (13/9/2023).

Selain itu, emiten farmasi pelat merah ini akan terus mendorong pemanfaatan sumber daya lokal sebagai bahan baku obat (BBO). Adapun, Lina menyebut bahwa perseroan optimis untuk tetap mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba bersih double digit di tengah depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Pada perdagangan hari ini, Rabu (13/9/2023) hingga pukul 13.55 WIB Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tercatat melemah 0,16 persen atau 24,50 poin ke level Rp15.366.

Anjloknya nilai tukar rupiah saat ini diperkirakan menjadi sentimen negatif bagi kinerja emiten farmasi di Indonesia. Emiten farmasi menjadi salah satu yang akan terkena imbas pelemahan rupiah karena tingginya proporsi penggunaan bahan baku impor dalam pembuatan berbagai produk obat-obatan.

Di sisi lain, Analis Pasar Mata Uang  Lukman Leong memprediksi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan bergerak datar cenderung melemah jelang pengumuman data inflasi AS periode Agustus 2023.

Menurutnya, selain dipengaruhi oleh membaiknya beberapa data ekonomi AS, tren pelemahan rupiah akhir-akhir ini juga menjadi imbas dari kekuatiran pasar terhadap perlambatan ekonomi di wilayah Asia, terutama China.

Sebagaimana diketahui, China saat ini terlibat dalam perseteruan dagang dengan AS setelah beberapa anggota parlemen AS menyerukan larangan menyeluruh terhadap ekspor teknologi ke China. Kebijakan tersebut dikhawatirkan dapat menekan laju pemulihan ekonomi China usai pandemi Covid-19 berakhir.

"Selain itu, inflasi AS juga diperkirakan akan menunjukkan kenaikan sebesar 3,6 persen secara yoy, hal ini memicu naiknya ekspektasi terhadap prospek suku bunga The Fed dan menguatkan nilai tukar dolar AS terhadap beberapa mata uang lain," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (13/9/2023).

Adapun, Lukman menyebut jika Bank Indonesia (BI) tidak berupaya melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, maka akan mudah bagi rupiah untuk menyentuh level Rp16.000 per dolar AS. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Ibad Durrohman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper