Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IHSG Jatuh Bersama Bursa Asia, Buntut Ketegangan China-AS

IHSG bersama Bursa Asia lainnya tertekan di tengah tingginya ketegangan antara China dan AS.
IHSG bersama Bursa Asia lainnya tertekan di tengah tingginya ketegangan antara China dan AS. / Bloomberg.
IHSG bersama Bursa Asia lainnya tertekan di tengah tingginya ketegangan antara China dan AS. / Bloomberg.

Bisnis.com, JAKARTA - Bursa Asia menurun pada Jumat (8/9/2023), termasuk IHSG, di tengah tingginya ketegangan antara China dan AS.

Selain itu, dolar bersiap untuk menyegel kemenangan beruntun terpanjangnya, dalam 9 tahun karena investor bersiap untuk suku bunga AS yang akan bertahan lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama.

Indeks MSCI untuk saham-saham Asia Pasifik di luar Jepang (MIAPJ0000PUS) turun 0,2 persen pada awal perdagangan, dan turun 1,4 persen untuk minggu ini. Pasar Hong Kong ditutup pada pagi hari karena badai yang melanda kota tersebut. Nikkei Jepang (N225) turun 0,8 persen.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah ke 6.921,77 pada penutupan sesi I perdagangan hari ini, Jumat (8/9/2023).

Sekitar $200 miliar telah terhapus dari kapitalisasi pasar Apple (AAPL.O) dalam dua hari ini, sebab laporan-laporan mengenai China yang membatasi penggunaan iPhone bagi para pegawai negeri dan, serta hari Jumat ini kekhawatiran proteksionisme membebani saham-saham pemasok chp di Asia.

Saham TSMC Taiwan (2330.TW), pemasok besar Apple, turun 1 persen pada pembukaan. Saham SK Hynix Korea Selatan (000660.KS), yang produknya digunakan ponsel rilisan baru dari Huawei Technologies China, turun sebanyak 4,5 persen ke level terendah dalam dua minggu. Sedangkan untuk Saham Tokyo Electron (8035.T) turun 4,3 persen.

Pakar Analisis Capital.com Kyle Rodda mengatakan larangan penggunaan produk Apple oleh China, akan berpotensi menciptakan perang dagang, sekaligus putusnya hubungan diplomasi antara China dan AS.

"Larangan parsial China terhadap produk Apple membuat perang dagang dan pemutusan hubungan AS-China kembali menjadi agenda utama," ucap Kyle.

Aksi jual-menjual juga terjadi ketika saham-saham teknologi berada di bawah tekanan ekstra oleh imbal hasil obligasi AS yang telah meningkat di tengah spekulasi, bahwa suku bunga AS akan bertahan di level tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Hal ini, menjadi gilirannya melepaskan dolar, yang telah naik selama delapan minggu berturut-turut, terhadap sekeranjang mata uang dan reli yang telah membawa indeks mata uang AS 5 persen lebih tinggi.

Penguatan dolar telah mendorong yuan China, ke level terendah dalam 16 tahun terakhir. Selain itu, telah mendorong peningkatan retorika dari para pembuat kebijakan Jepang yang merasa tidak nyaman dengan penurunan yen.

"Mengingat tantangan-tantangan yang dihadapi China, sekaligus banyaknya tanda-tanda pengetatan kembali pasar tenaga kerja AS, tidak mengherankan jika raksasa dolar mendapat dukungan, yang memungkinkan untuk melanjutkan lajunya," tulis para analis ANZ Bank dalam sebuah catatan resmi.

Sementara itu, Euro turun 0,5 persen di minggu ini, dan diperdagangkan stabil pada $1,0715 di Asia, dengan para investor yang memperhitungkan bahwa kenaikan suku bunga akan lebih mungkin terjadi, dibandingkan dengan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Eropa minggu depan.

Yen telah menemukan posisi rendah terbarunya dalam 10 bulan terakhir. Yen di kisaran 147,13 per dolar menuju ke sekitar 150, yang membuat para trader melihat adanya risiko tinggi.

Diplomat mata uang utama Jepang, Masato Kanda, mengatakan pada hari Rabu (6/09/2023), pihak berwenang tidak akan mengesampingkan opsi apa pun untuk menekan pergerakan "spekulatif", sementara kepala sekretaris kabinet, Hirokazy Matsuno, mengatakan bahwa pemerintah mengawasi dengan keadaan "mendesak".

Untuk Dolar Australia pada minggu ini, menurun lebih dari 1 persen dan diperdagangkan pada $0,6384 pada hari Jumat ini. Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun, naik 5,5 basis poin menjadi 4,22 persen pada minggu ini. Imbal hasil dua tahun naik 6,6 bps menjadi 4,93 persen.

Pada harga minyak mentah Brent, naik minggu ini, namun kenaikan pada data AS yang kuat baru-baru ini, telah diredam oleh melemahnya indikator permintaan di Eropa dan China. Harga minyak mentah berjangka Brent, terakhir berada di posisi stabil US$89,60 per barel, kemudian naik 1,2 persen untuk minggu ini. (Muhammad Omar Adibaskoro)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Redaksi
Editor : Hafiyyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper