Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Cadangan AS Naik Lampaui Perkiraan, Minyak Mentah Kembali Melemah

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November tergerus 45 sen menjadi menetap di US$78,64 per barel, setelah menyentuh level US$80 pada Selasa (28/9).
Kilang minyak lepas pantai di Skotlandia/Bloomberg-Jason Alden
Kilang minyak lepas pantai di Skotlandia/Bloomberg-Jason Alden

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah kembal imelemah pada perdagangan Rabu (29/9/2021) setelah persediaan minyak mentah AS naik lebih banyak dari yang diiperkirakan.

Dilansir Antara, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November tergerus 45 sen menjadi menetap di US$78,64 per barel, setelah menyentuh level US$80 pada Selasa (28/9).

Sementara itu, harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) ditutup melemah 46 sen menjadi US$74,83 per barel.

Persediaan minyak mentah AS naik 4,6 juta barel pekan lalu, melebihi ekspektasi, didorong oleh rebound dalam produksi karena fasilitas lepas pantai yang ditutup setelah dihantam dua badai Teluk AS kembali melanjutkan aktivitasnya.

Pasar juga tertekan oleh penguatan dolar AS yang mencapai level tertinggi satu tahun terhadap sejumlah mata uang utama lainnya. Karena minyak ditransaksikan dalam dolar, penguatan mata uang AS membuat komoditas itu lebih mahal di seluruh dunia.

Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, melonjak 0,61 persen menjadi 94,3392 pada akhir perdagangan Rabu (29/9/2021), menyusul kenaikan 0,41 persen di sesi sebelumnya. Secara historis, harga minyak berbanding terbalik dengan harga dolar AS.

Harga minyak telah menguat karena ekonomi pulih dari penguncian pandemi dan permintaan bahan bakar meningkat, sementara beberapa negara produsen telah melihat gangguan pasokan.

Stok minyak, bensin, dan sulingan AS naik minggu lalu, menurut Departemen Energi AS. Produksi AS meningkat menjadi 11,1 juta barel per hari, kira-kira sejalan dengan produksi sebelum Badai Ida melanda sekitar sebulan lalu.

Produksi di Amerika Serikat telah gagal untuk meraih kembali tingkat yang terlihat pada akhir 2019, ketika produksi naik menjadi hampir 13 juta barel per hari. Produksi minyak serpih lambat untuk pulih, memperketat pasokan global karena OPEC enggan menaikkan kuotanya.

“Produksi akan kembali tetapi tidak di tempat yang seharusnya,” kata Phil Flynn, pedagang di Price Futures Group.

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+, kemungkinan akan tetap berpegang pada kesepakatan yang ada untuk menambah 400.000 barel per hari (bph) ke produksinya untuk November ketika bertemu minggu depan, kata sumber, meskipun ada tekanan dari konsumen untuk lebih banyak pasokan.

Dengan pengakuannya sendiri, permintaan minyak diperkirakan akan meningkat kuat dalam beberapa tahun ke depan. OPEC memperingatkan pada Selasa (28/9/2021) bahwa dunia perlu terus berinvestasi dalam produksi untuk mencegah krisis bahkan ketika bertransisi ke bentuk energi yang kurang berpolusi.

Melemahnya pasar perumahan China dan meningkatnya pemadaman listrik telah memukul sentimen karena setiap kejatuhan untuk ekonomi terbesar kedua di dunia itu, kemungkinan akan berdampak pada permintaan minyak, kata para analis.

China adalah importir minyak terbesar dunia dan konsumen bahan bakar fosil terbesar kedua setelah Amerika Serikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper