Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bursa Asia Bergejolak, IHSG Bertahan Menguat di Akhir Sesi I

Berdasarkan data Bloomberg, IHSG menguat 0,27% atau 16,47 poin ke level 6.197,65 pada akhir sesi I, meskipun sempat dibuka dengan pelemahan 0,08% atau 5,02 poin di posisi 6.176,15.
Karyawan beraktivitas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (31/10/2018)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Karyawan beraktivitas di dekat monitor pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (31/10/2018)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mantap melaju di zona hijau pada akhir sesi I perdagangan hari ini, Kamis (3/1/2019).

Berdasarkan data Bloomberg, IHSG menguat 0,27% atau 16,47 poin ke level 6.197,65 pada akhir sesi I, meskipun sempat dibuka dengan pelemahan 0,08% atau 5,02 poin di posisi 6.176,15.

Sepanjang perdagangan sesi I hari ini, IHSG bergerak di level 6.176 15-6.214,89.

Adapun pada perdagangan kemarin, Rabu (2/1), IHSG ditutup melemah 0,22% atau 13,32 poin ke level 6.181,17.

Sebanyak 209 saham menguat, 154 saham melemah, dan 259 saham stagnan dari 622 saham yang diperdagangkan.

Saham PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) yang menguat 6,83% dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang naik 1,06% menjadi pendorong utama pergerakan IHSG hingga akhir sesi I hari ini.

Enam dari sembilan sektor menetap di zona hijau, dengan dorongan terbesar dari sektor properti yang menguat 1,60%, disusul sektor industri dasar dengan penguatan 1,23%.

Di sisi lain, tiga sektor lainnya melemah dan menahan penguatan IHSG lebih lanjut, didorong oleh sektor aneka industri yang turun 0,51%.

Sementara itu, pemerintah berhasil menekan defisit anggaran menjadi Rp259,9 triliun atau sebesar 1,76% terhadap PDB di dalam APBN 2018.

Defisit anggaran tersebut jauh lebih rendah dibanding batas yang ditetapkan sesuai UU APBN 2018, yang senilai Rp325,9 triliun atau setara dengan 2,19% dari PDB. Realisasi defisit anggaran itu terbentuk dari selisih penerimaan negara senilai Rp1.942,3 triliun dengan belanja pemerintah senilai Rp2.202,2 triliun.

Adapun pada 2017, pemerintah mencatatkan defisit anggaran senilai Rp341 triliun atau mencapai 2,51% dari PDB.

Pada 2018, pembiayaan anggaran tercatat senilai Rp300,4 triliun yang turut disertai dengan penurunan realisasi pembiayaan utang netto. Dengan demikian, neraca keseimbangan primer APBN 2018 mencapai defisit senilai Rp1,8 triliun atau yang berarti pembiayaan untuk menutup utang semakin berkurang.

IHSG menguat di saat indeks saham lainnya di kawasan Asia Tenggara cenderung bergerak menguat siang ini, dengan indeks Malay KLCI menguat 0,58%, indeks SET Thailand menguat 0,19%, dan indeks PSEi Filipina menguat 1,71%, sedangkan indeks Straits Times Singapura melemah 0,95%.

Di sisi lain, bursa saham lain di Asia justru melemah, dengan indeks Kospi Korea Selatan melemah 0,55%, indeks Shanghai Composite dan CSI 300 China masing-masing melemah 0,26% dan 0,17%, sedangkan indeks Hang Seng turun 0,69%.

Seperti dikutip Reuters, bursa saham Asia melemah menyusul penurunan prospek pendapatan Apple Inc, di antaranya karena pelemahan ekonomi di China.

Pada Rabu (2/1/2019), CEO Apple Tim Cook mengatakan nilai penjualan diperkirakan mencapai sekitar US$84 miliar pada kuartal yang berakhir 29 Desember 2018. Perkiraan ini lebih kecil dari perkiraan sebelumnya yakni sebesar US$89 miliar hingga US$93 miliar.

Kabar tersebut memicu 'flash crash' di pasar modal dan pasar mata uang, dengan para investor bergegas memindahkan investasi ke aset safe-haven dalam hitungan detik.

Sementara itu, saham di China dan Hong Kong terus berfluktuasi kerugian karena investor menunggu pemerintah China meluncurkan langkah-langkah dukungan baru terhadap pertumbuhan ekonomi China.

Sementara lebih banyak dukungan kebijakan fiskal dan moneter telah diperkirakan dalam beberapa bulan mendatang, sejumlah analis bertanya-tanya apakah stimulus yang lebih kuat akan diperlukan untuk menstabilkan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

"Meskipun ada sikap kebijakan yang lebih pro-pertumbuhan sejak pertengahan 2018, kami memperkirakan pertumbuhan akan terus melambat di masa mendatang karena tampaknya kebijakan pemerintah masih di belakang kurva," ungkap tim ekonom di BofA Merrill Lynch, seperti dikutip Reuters.

"Dalam pandangan kami, stimulus signifikan berikutnya hanya dapat terjadi ketika pemerintah merasakan bahwa stabilitas keuangan dalam bahaya."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper