Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Skandal Internal Terpa KPK, Pemberantasan Korupsi Stagnan

Skandal di internal KPK semakin membuat proses pemberantasan korupsi berada di persimpangan jalan.
Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, dan Sekjen KPK Cahya H. Harefa pada konferensi pers terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pada penjagaan dan perawatan Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK, Rabu (21/6/2023). JIBI/Bisnis-Danny Saputra
Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, dan Sekjen KPK Cahya H. Harefa pada konferensi pers terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi pada penjagaan dan perawatan Rutan Klas I Jakarta Timur Cabang KPK, Rabu (21/6/2023). JIBI/Bisnis-Danny Saputra

Bisnis.com, JAKARTA -- Internal Komisi Pemberantasan Korupsi KPK, terus diterpa skandal dan pelanggaran etik sejak amandemen UU KPK. Kondisi itu membuat proses pemberantasan korupsi tidak berjalan sesuai ekspektasi.

Sekadar catatan, sejak amandemen UU KPK, indeks persepsi korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia nyaris stagnan. Pada tahun 2023 lalu, skor IPK Indonesia tidak berubah dari tahun sebelumnya yakni 34/100. Begitupula dengan peringkat IPK yang tertahan di angka 115 dari 180 negara.

Tren stagnasi pemberantasan korupsi tersebut dipicu oleh berbagai macam, salah satunya adalah kisruh internal yang terjadi sejak pelaksanan UU KPK yang baru. 

Sejak UU berlaku, KPK lebih disibukkan oleh persoalan internal mulai dari kisruh Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), pelanggaran etik Lili Pintauli Siregar, pungutan liar, hingga skandal etik bekas pimpinan KPK Firli Bahuri yang dilaporkan ke Dewas KPK berkali-kali. Firli sendiri akhirnya mengundurkan diri sebagai ketua KPK karena dugaan keterlibatannya dalam perkara pemerasan Syahrul Yasin Limpo alias SYL.

Adapun, peristiwa yang paling terbaru terjadi ketika Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, melaporkan anggota Dewan Pengawas alias Dewas KPK, Albertina Ho, ke Dewas KPK. 

Albertina dilaporkan karena langkah Dewas KPK yang menindaklanjuti perkara dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Ghufron. Ghufron sebelumnya diduga menggunakan kewenangannya untuk meminta pihak Kementerian Pertanian (Kementan) memutasi salah seorang pegawainya.

"Dia [Ghufron] itu meminta untuk memindahkan salah seorang pegawai dari Kementerian Pertanian di pusat ini ke Jawa Timur, Malang," ungkap Albertina, belum lama ini. 

Mantan hakim itu lalu menjelaskan, Dewas KPK sudah meminta klarifikasi ke sejumlah pihak. Jumlahnya ada sekitar 10 orang meliputi internal KPK, Kementan, pihak luar, hingga mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo atau SYL yang kini sedang berperkara di KPK.

"SYL juga ada. Ada juga diklarifikasi, kan kita kumpulkan bukti-bukti. Siapa saja nanti yang akan diperiksa ya tergantung ada hubungannya tentu ya," kata Albertina.

Gugat ke PTUN

Tidak hanya dilaporkan ke Dewas KPK, Ghufron juga menggugat Albertina Ho ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Ghufron mengonfirmasi bahwa gugatannya ke PTUN terkait langkah Dewas memproses laporan mengenai dugaan penyalahgunaan yang sudah kedaluwarsa. 

Dugaan penyalahgunaan wewenang itu dilaporkan ke Dewas, dan menyeret nama Ghufron. Dia diduga melakukan komunikasi dengan pihak Kementerian Pertanian (Kementan) soal mutasi seorang pegawai di kementerian tersebut. 

Salah satu pimpinan KPK periode 2019-2024 itu lalu membenarkan adanya komunikasi dengan pihak Kementan dimaksud, namun mengklaim tidak ada paksaan. Ghufron mempermasalahkan laporan etik itu lantaran kejadiannya pada Maret 2022, namun tetap diproses setelah umurnya sudah lebih dari setahun. 

"Jadi kalau [kejadiannya] Maret 2022, itu mustinya expired di Maret 2023. Maka mustinya namanya sudah expired, kasus ini enggak jalan. Nah itu yang saya kemudian PTUN-kan," jelasnya kepada wartawan hari ini.

Kinerja KPK

Masalah-masalah internal tersebut kemudian membuat proses pemberantasan korupsi tertatih-tatih. Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), serta Pusat Kajian Anti Korupsi UGM (PuKAT UGM) pernah merilis laporan terkait implikasi UU KPK versi terbaru terhadap kinerja pemberantasan korupsi. Ada 4 poin yang disorot oleh lembaga-lembaga tersebut.

Pertama, ketidakjelasan arah politik hukum pemberantasan korupsi. Sejak tahun 2019, pemberantasan korupsi tampaknya tidak dijadikan agenda prioritas oleh pemerintah. Pemberantasan malah lebih diarahkan kepada sektor pencegahan.

Kedua, kinerja sektor penindakan yang semakin mengkhawatirkan, kasus besar tidak banyak diungkap dan kinerja operasi tangkap tangan (OTT) kualitasnya turun. Ketiga, kinerja sektor pencegahan yang belum efektif. Penyesuaian pendekatan antikorupsi yang didorong oleh negara dan KPK belum menunjukkan hasil yang signifikan.

Keempat, pengelolaan internal KPK yang buruk. Penerbitan Peraturan Komisi No. 7 Tahun 2020 (PerKom 7/2020) tentang Organisasi dan Tata Kerja dinilai tidak memiliki urgensi yang signifikan. Sebaliknya, keberadaan Dewas KPK dinilai tidak berfungsi efektif untuk mengawasi serta mengevaluasi kinerja pegawai maupun Komisioner KPK.

Tindak Tanduk Ghufron 

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan bahwa tindak-tanduk Ghufron dalam melaporkan Anggota Dewas KPK Albertina Ho ke Dewas maupun gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mencerminkan sikap frustasi pimpinan KPK tersebut. 

"Indonesia Corruption Watch melihat tindak tanduk Nurul Ghufron yang melaporkan anggota Dewan Pengawas serta menggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara menunjukkan bahwa dirinya sedang frustasi menghadapi dugaan pelanggaran kode etik di Dewan Pengawas," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhan melalui keterangan resmi, Selasa (30/4/2024). 

Kurnia menilai, Ghufron sebagai penegak hukum apalagi pimpinan KPK seharusnya berani untuk menjalani persidangan dan tidak mencari-cari kesalahan pihak lain yang sebenarnya tidak relevan. 

Oleh sebab itu, ICW mendesak agar Dewas tidak terpengaruh dengan segala argumentasi pembenar yang disampaikan oleh pimpinan KPK tersebut dan tetap melanjutkan proses persidangan. 

Apabila Ghufron terbukti melanggar etik, lanjut Kurnia, maka ICW meminta Dewas menjatuhkan sanksi berat dengan jenis hukuman berupa “diminta untuk mengajukan pengunduran diri sebagai Pimpinan” seperti diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b Peraturan Dewan Pengawas (Perdewas) No.3/2021. 

Untuk diketahui, Ghufron diduga melanggar etik dalam meminta Kementerian Pertanian (Kementan) untuk memutasi salah satu pegawainya. Dewas KPK menyepakati untuk menaikkan laporan dugaan pelanggaran etik itu ke persidangan lantaran memiliki kecukupan alat bukti. 

Menurut Kurnia, apa yang dilakukan Ghufron merupakan perbuatan perdagangan pengaruh. Hal itu juga dinilai tergolong perbuatan korupsi. 

Selain hal tersebut, Dewas didesak untuk mengusut apakah komunikasi Ghufron dengan pihak Kementan itu dilakukan saat perkara dugaan korupsi di kementerian tersebut sudah mulai diselidiki KPK.

"Apakah komunikasi keduanya terbangun saat Kementerian Pertanian sedang diselidiki oleh KPK dalam konteks perkara yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo? Bila benar, maka Sdr Ghufron diduga keras turut melanggar Pasal 36 huruf UU KPK di ranah pidana dan Pasal 4 ayat (2) huruf a Perdewas No.3/2021 di ranah etik," ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper