Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Ibrahim Kholilul Rohman

Dosen Ekonomi Digital, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Dia meraih gelar doctor of philosophy (Ph.D) di bidang Technology and Society dari Chalmers University of Technology

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Belajar dari Bencana Alam Dubai

Bencana hujan badai dan banjir yang baru-baru ini terjadi di Dubai bisa menjadi wake-up call yang penting bagi Indonesia.
Penampakan banjir besar yang melanda Dubai, Uni Emirat Arab, pada Selasa (16/4/2024)./Reuters
Penampakan banjir besar yang melanda Dubai, Uni Emirat Arab, pada Selasa (16/4/2024)./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Jika orang masih merasa skeptis terhadap isu perubahan iklim, tahun 2023 memberikan banyak sekali pembelajaran bagi kita semua.

Secara total terdapat 240 bencana alam dalam skala yang cukup besar. Mulai dengan kebakaran hutan di Hawaii dan Yunani, banjir di Kongo, Chili, dan California, gempa bumi di Turki dan Maroko, dan badai di Myanmar, Yunani, dan Libya. Bencana-bencana umumnya menimbulkan kerusakan fisik dan korban jiwa dengan biaya ekonomi yang sangat mahal.

Dengan frekuensi yang makin sering, Bank Dunia pada 2016 sudah memprediksikan bahwa bencana alam dapat mengakibatkan kerugian ekonomi global sekitar US$520 miliar per tahunnya. Lebih parahnya, rentetan bencana alam yang tidak termitigasi bisa mendorong sekitar 26 juta orang ke dalam kemiskinan setiap tahun.

Bencana hujan badai dan banjir yang baru-baru ini terjadi di Dubai bisa menjadi wake-up call yang penting bagi Indonesia. Di negara yang sangat modern dengan early warning yang maju tiba-tiba mengalami curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam 75 tahun terakhir yang membawa kerusakan ekonomi akibat badai yang merusak kendaraan, properti, dan infrastruktur public lainnya.

Jika bencana seperti ini bisa terjadi di salah satu negara paling modern, Indonesia, dengan wilayah geografis yang lebih luas dan tingkat kesiapsiagaan kebencanaan yang bervariasi antar daerah, harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana dalam waktu tiba-tiba.

Upaya meningkatkan kesadaran ini makin relevan bagi Indonesia, terutama karena kita akan memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) nasional pada 26 April. Peringatan ini diharapkan akan melahirkan perubahan terkait manajemen kebencanaan.

HKB yang merupakan salah satu implementasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana harus menimbulkan transformasi sikap baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana untuk lebih berfokus pada Tindakan proaktif daripada reaktif.

Indonsia memiliki pengalaman kebencanaan pada saat terjadinya gempa bumi dan tsunami Aceh pada tahun 2004. Bencana tersebut menimbulkan kerugian ekonomi mencapai Rp51.4 triliun (US$3,5 miliar), sementara anggaran negara yang dialokasikan untuk manajemen risiko bencana pada saat itu hanya berkisar antara Rp3 triliun hingga Rp10 triliun per tahun.

Bahkan proyeksi dari Bank Dunia menunjukkan bahwa kerugian ekonomi akibat perubahan iklim bisa mencapai 0,66% hingga 3,45% dari PDB pada tahun 2030 jika langkah-langkah yang memadai tidak dilakukan sejak dini.

Bagi Indonesia, manajemen kebencanaan menjadi lebih penting karena munculnya dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung mencakup kerugian langsung akibat bencana itu sendiri baik berupa kerugian materi maupun korban jiwa, sedangkan dampak tidak langsung mengacu pada efek selanjutnya setelah terjadinya bencana pada jangka menengah dan panjang.

Misalnya, bencana alam berkontribusi pada kenaikan harga pangan, terutama untuk makanan pokok seperti beras. Kekeringan yang disebabkan oleh fenomena seperti El Nino dapat menyebabkan gagal panen, menyebabkan kelangkaan pasok dan menaikkan harga.

Sejak Juli 2023 hingga Februari 2024, kita mendapati bahwa harga beras di Indonesia meningkat sekitar 23%, dari 15,36 ton/cwt menjadi 18,89 ton/cwt. Dari sisi permintaan hal ini menjadi riskan karena tingginya tingkat konsumsi beras Indonesia sebesar 185 kg/kap/tahun menyebabkan penduduk populasi rentan akan terdampak secara tidak langsung.

Menyadari pentingnya persiapan menghadapi bencana alam di Indonesia, IFG Progress melakukan studi untuk memetakan kabupaten-kabupaten di Indonesia menurut kerentanannya terhadap bencana alam berdasarkan data dari Sensus Potensi Desa 2018 yang dilakukan oleh BPS.

Data ini mencakup 83.931 desa/kelurahan dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi dengan kategori bencana alam meliputi tanah longsor, banjir, banjir bandang, gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, siklon, letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dan kekeringan.

Dengan membuat indeks keparahan komposit mulai dari 0 hingga 100 dari frekeunsi dan jumlah korban akibat bencana yang disebutkan di atas, studi ini mengidentifikasi 24 kabupaten atau kota dengan indeks bencana alam melebihi 75. Mayoritas wilayah tersebut berada di Provinsi Jawa Barat, antara lain Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, dan Tasikmalaya.

Kajian ini juga mencatat keberadaan kabupaten lain dengan indeks bencana alam melebihi 75 yang tersebar di berbagai provinsi seperti Aceh, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, dan Sumatra Utara, meskipun tidak sebanyak di Jawa Barat.

Melalui pengujian ekonometrik, studi ini juga berusaha mengidentifikasi bahwa untuk setiap peningkatan 1% dalam jumlah desa yang dilengkapi dengan sistem peringatan dini dan sinyal telekomunikasi yang cukup, wilayah tersebut berpotensi menghemat Rp200 miliar—Rp300 miliar Produk Domestik Bruto dengan secara efektif mengurangi dampak bencana dari bencana tersebut.

Selain kesiapan manajemen kebencanaan, aspek pembiayaan kebencanaan yang inovatif juga penting untuk mencegah kerugian ekonomi lebih lanjut, seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman negara lain. Jepang, yang dikenal sering mengalami bencana alam, terutama gempa bumi, telah membentuk sistem asuransi bencana yang kuat yang disebut “Sistem Kompensasi Kerusakan Gempa Bumi dan Gunung Berapi” atau “Kyosai.”

Demikian pula, Taiwan menanggapi berbagai bencana terutama gempa bumi membuat skema Dana Asuransi Gempa Bumi Perumahan Taiwan (TREIF) yang didorong oleh terjadinya gempa bumi Chi-Chi pada tahun 1999. Skema ini menawarkan perlindungan asuransi untuk bangunan tempat tinggal terhadap risiko terkait gempa.

Inisiatif serupa juga sudah mulai diterapkan di negara lain seperti Turki dan Meksiko. Program asuransi bencana Turki, Turkey Catastrophe Insurance Pool (TCIP), muncul setelah gempa bumi Marmara pada tahun 1999 untuk menutupi bencana terkait gempa bumi dan risiko terkait. Sementara itu, Meksiko mendirikan FONDEN pada 1996 sebagai dana bencana nasional untuk membantu upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.

Sebaga kesimpulan, fokus Kebijakan Manajemen kebencanaan di Indonesia harus pada inklusivitas dan inovasi dalam mitigasi risiko bencana. Hal ini bisa dicapai dengan menerapkan sistem peringatan dini yang luas dan skema asuransi bencana untuk mencegah dampak keparahan lebih lanjut.

Melalui kolaborasi dan strategi ini, Indonesia bisa melakukan mitigasi bencana sebelum pada saat dan setelah terjadinya bencana dengan lebih kompehensif dengan seminimal mungkin Tingkat kerugian ekonomi dan jiwa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper