Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

'War Takjil' Lintas Agama Tanda Toleransi? Sosiolog Beri Penjelasan

Sosiolog memberikan penjelasan soal adanya fenomena war takjil lintas agama selama ramadan.
Warga mengantre untuk membeli aneka makanan khas buka Puasa di Pasar Takjil Benhil, Jakarta Pusat pada Selasa (21/3/2024). JIBI/Ahmadi Yahya
Warga mengantre untuk membeli aneka makanan khas buka Puasa di Pasar Takjil Benhil, Jakarta Pusat pada Selasa (21/3/2024). JIBI/Ahmadi Yahya

Bisnis.com, MALANG - Takjil tidak berdimensi agama ritual, tetapi lebih ke kedermawanan sosial sehingga kelompok nonmuslim pun bisa masuk dan tidak ada beban untuk menikmatinya seperti fenomena “War Takjil”.

Dosen Program Studi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rachmad K. Dwi Susilo, mengatakan akhir-akhir ini sosial media dipenuhi dengan konten yang disebut dengan ‘War Takjil’. Dari konten tersebut, menegaskan takjil tidak hanya digemari oleh masyarakat muslim yang berpuasa, namun juga populer dan digemari oleh masyarakat non-muslim. Hal ini, membuat suasana Ramadan menjadi lebih cair dan ceria.

Di lain sisi, peringatan hari besar agama lain cenderung tidak seceria bulan Ramadan. Bahkan sering muncul pertanyaan dan pernyataan provokatif, misalnya terkait pengucapan selamat natal. 

“Jika masalah ucapan Hari Raya Natal ini tergantung individunya. Cukup hormati dan hargai perayaan agama lain dengan tidak mengecamnya,” ucapnya, Sabtu (23/3/2024).

Menurut dia, agama lain harus membuka ruang publik sehingga semua agama bisa turut terlibat dalam suasana saling menghormati dan penuh kegembiraan. Tetapi pemerintah memang butuh tindakan yang hati-hati, agar tidak masuk wilayah keyakinan personal.

Kemudian, perlu ide pemerintah untuk membangun inklusivitas. Pemerintah bisa menyediakan  kelembagaan yang bernama rumah bersama antar umat beragama. 

Forum tersebut harus produktif, menghasilkan kerja-kerja kolektif yang inklusif sehingga semua kelompok bisa terlibat tanpa menyentuh aspek-aspek asasi atau aspek personal agama tersebut. Jika rutin bertemu, tidak akan muncul kecemburuan, superioritas, dan merasa agama yang paling bagus.

“Jika telah mengalami kelembagaan, kelak akan cair dengan sendirinya. Kalau kita tidak pernah bertemu dengan penganut agama lain dan memiliki tafsir tersendiri terhadap mereka, nanti akan mudah terprovokasi,” jelasnya.

Sejak kecil, dia mengingatkan, anak jangan di sosialisasikan seakan-akan agamanya lebih bagus dan dikomparasikan dengan agama lain. Jika dibandingkan, maka bisa memicu permusuhan. Konstruksi sosial mengenai agama perlu di bangun sejak kecil dan dimulai dari lembaga keluarga.

Dengan itu, Rachmad berharap tidak akan ada keluarga yang mengalami disorganisasi atau fungsi fungsi yang hilang antar hubungan orang tua dengan anak. 

Contohnya, orang tua terlalu sibuk bekerja sehingga dititipkan kepada orang lain. Jika seperti itu, maka mereka tidak bisa mengontrol sang anak dengan baik. Padahal keluarga menjadi tempat pertama dalam mengajarkan toleransi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Choirul Anam
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper