Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

12 Kampus Kompak Buka Fakultas Kedokteran, IDI Khawatirkan Hal Ini

Anggota Dewan Pertimbangan IDI khawatirkan dokter muda tak bisa diserap pasar dalam 10 tahun mendatang karena isu ramai-ramai pembukaan Fakultas Kedokteran.
Deklarasi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) di Jakarta, Rabu (27/4/2022)./Istimewa
Deklarasi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) di Jakarta, Rabu (27/4/2022)./Istimewa

Bisnis.com, SOLO - Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ikut buka suara mengenai kompaknya 12 kampus membuka Fakultas Kedokteran pada Agustus 2023 ini.

Ramainya pembukaan Fakultas Kedokteran ini disebut sebagai langkah pemerintah untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan dokter dan tenaga kesehatan (nakes) di daerah.

“Karena dengan melihat kapasitas yang ada (dari pembukaan ini), maka jenis-jenis dokter spesialis baru dapat dipenuhi dalam lima sampai lima belas tahun ke depan,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, Senin (7/8).

Melihat hal ini, Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Hasbullah Thabrany pun mengatakan ketidaksetujuannya.

Menurutnya, penambahan Fakultas Kedokteran untuk mencetak calon-calon dokter agar dapat memenuhi kebutuhan daerah adalah hal yang kurang pas.

“Saya tidak 100 persen setuju karena pendidikan kedokteran jadi seakan-akan jualan lewat isu krisis dokter. Menurut saya, ini tidak didasarkan pada kajian yang memadai. Memang, Indonesia ada masalah kekurangan dokter spesialis dan masalah distribusinya. Tapi kalau kekurangan dokter umum, sebenarnya tidak juga,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (9/8/2023). 

Sebab dirinya menilai bahwa beban kerja dokter umum dengan rasio 1:2.500 penduduk sebenarnya masih ideal di Indonesia.

Hal ini mengacu data rata-rata jumlah pasien yang butuh layanan dokter umum di Indonesia setiap bulannya, di mana masih berkisar 18-20 persen dari total penduduk.

Dari sini langkah menggenjot kuantitas dokter umum melalui dibukanya Fakultas Kedokteran di sejumlah perguruan tinggi pun dinilai tidak terlalu mendesak.

Terlebih, upaya ini pun bukan solusi atas masalah yang lebih urgen, yakni distribusi dokter untuk pemerataan layanan kesehatan di seantero Tanah Air, baik terkait dokter umum, maupun dokter spesialis.

“Masalahnya, dokter jangan hanya dituntut mengabdi di daerah, tapi tidak mendapat imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya selama studi, serta beban jam praktiknya sehari-hari dalam rangka mengejar target. Apalagi dokter spesialis yang sekolahnya saja lama,” jelas Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universtas Indonesia ini. 

Dirinya mengaku khawatir apabila jawaban pemerintah untuk isu krisis dokter hanya dengan memperbanyak lulusan kedokteran, efek negatifnya akan mulai terasa sekitar 10 tahun mendatang, di mana akan semakin banyak dokter muda yang tidak terserap pasar. 

Untuk itu, Hasbullah menyarankan pemerintah lebih baik semakin memprioritaskan kebijakan untuk mendorong rumah sakit (RS) segera menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis. Menurutnya, upaya terkait hal ini jauh lebih relevan dan urgen untuk kondisi terkini, dalam konteks mengatasi isu krisis dokter di Indonesia.

“RS pendidikan untuk mencetak spesialis itu yang harus digenjot duluan, bukan memperbanyak fakultas kedokteran umum. Karena spesialis itu pendidikan yang memang harus memperbanyak pengalaman sejak dini, lewat menangani pasien di bawah supervisi dokter yang sudah kompeten,” tambah Hasbullah. 

Menurut Hasbullah, salah satu upaya mendorong RS mencetak dokter spesialis bisa diawali dengan memberikan insentif dan fasilitas bagi para dokter spesialis eaxisting, dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pendidik atau trainer para calon dokter spesialis muda. 

Selain itu, output dari RS pendidikan pun dinilainya bisa menjembatani isu kekurangan dokter spesialis di daerah pelosok, yakni lewat mekanisme penerapan sertifikasi berbasis pengalaman praktik yang utamanya menyasar para dokter muda.

“Misalnya, ada pasien yang butuh operasi polip hidung di daerah pelosok. Ini bisa ditangani dokter yang sudah punya sertifikasi kompetensi untuk melakukan operasi hidung, walaupun dia masih berproses jadi spesialis THT, misalnya. Ini lebih efisien ketimbang mencetak dokter spesialis dari nol untuk diminta mengabdi ke daerah,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper