Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dulu Dikuras VOC, Kini Dipaksa WTO

Wilayah Nusantara pernah dijajah VOC karena rempah-rempah. Kini Uni Eropa datang dengan centeng WTO untuk nikel Indonesia.
Suasana di depan gedung WTO di Jenewa, Swiss, tempat berlangsungnya KTM ke-12 WTO./Bisnis-Maria Yuliana Benyamin
Suasana di depan gedung WTO di Jenewa, Swiss, tempat berlangsungnya KTM ke-12 WTO./Bisnis-Maria Yuliana Benyamin

Bisnis.com, JAKARTA -- Ada yang menarik dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean-Uni Eropa di Brussel, Belgia pada pekan lalu. Dia menyatakan bahwa Asean dan Uni Eropa adalah mitra yang cukup strategis. 

Namun demikian, Jokowi menginginkan sebuah kemitraan yang tidak saling mendominasi atau merugikan pihak lain. Dia menekankan pentingnya suatu kesetaraan dan sikap saling menguntungkan antara kedua belah pihak.

"Kemitraan dengan Asean dipastikan akan menguntungkan. Dan jika ingin membangun kemitraan yang lebih baik, maka kemitraan harus didasarkan kepada kesetaraan," ujar Jokowi saat memberikan pidato dalam konferensi tersebut.

Pernyataan Jokowi tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Kalimatnya cukup tegas dan jelas. Apalagi dia menyampaikannya di sebuah acara yang dihadiri oleh elite Eropa dan Asean di jantung Uni Eropa, yakni Brussel, Belgia.

Asean dan Eropa sejatinya telah memiliki hubungan yang berabad-abad. Hubungan tersebut telah berjalan dengan segala dinamikanya, termasuk kenangan pahit kolonisasi. Hampir semua negara atau wilayah di Asean, kecuali Thailand, adalah bekas koloni maupun jajahan dari bangsa Eropa.

Indonesia, misalnya, pernah memiliki pengalaman dijajah oleh Belanda. Sekadar catatan, wilayah Belanda dulu mencakup Belgia, tempat pelaksanaan KTT Asean-Uni Eropa kemarin berlangsung. Singapura, Malaysia dan Myanmar adalah negara bekas jajahan Inggris. Filipina dijajah Spanyol. Laos, Kamboja, dan Vietnam atau kawasan Indochina pernah dijajah oleh Prancis.

Dulu orang-orang Eropa datang ke kawasan Asia Tenggara, khususnya Nusantara, ingin berdagang dan memperoleh rempah-rempah. Mereka diterima dengan baik. Namun lambat laun para petualang Eropa itu malah menetap kemudian ingin berkuasa. Mereka kemudian menggunakan cara licik bahkan kekerasan untuk menaklukkan raja-raja lokal.

Singkat cerita para pedagang Belanda, melalui Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC (kumpeni) mendominasi kawasan Nusantara. Mereka berhasil memonopoli rute perdagangan rempah-rempah dari Batavia, Makassar, hingga Banda di Kepulauan Maluku. Mereka memaksa para pedagang menjual rempah ke VOC. Tidak boleh kepada pedagang Eropa lainnya.

Monopoli rempah-rempah membuat VOC tercatat sebagai perusahaan dengan valuasi terbesar sepanjang sejarah. Bahkan kalau dibandingkan dengan valuasi perusahaan-perusahaan seperti Apple, Microsoft atau perusahaan mentereng lainnya, mereka tidak ada seujung kukunya. 

Namun di balik cerita kejayaan VOC, penjajahan Eropa juga menghasilkan sejarah perbudakan. Orang-orang Nusantara, khususnya Jawa, diperbudak untuk mengerjakan perkebunan. Mereka dikirim ke berbagai daerah. Dipaksa mengolah lahan di Sumatra. Mereka juga dibawa ke negara koloni Belanda, seperti Suriname untuk bekerja di perkebunan.

Mayoritas tidak kembali lagi ke Jawa. Mereka menetap di sana dan membentuk komunitas Jawa di Suriname. Satu persoalan yang tidak pernah disinggung oleh Padoeka Jang Moelia Perdana Menteri Negari Walandi [Belanda] Mark Rutte saat meminta maaf atas perbudakan pada masa kolonial pekan lalu.

Hegemoni Eropa di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara runtuh pada pertengahan abad ke 20. Proses dekolonisasi mulai berlangsung. Di Indonesia, pada masa Soekarno, terjadi proses nasionalisasi aset-aset belas Belanda ke Indonesia. Orang-orang Belanda diusir dan disuruh pulang ke negaranya.

Eropa yang terancam oleh sikap-sikap 'nasionalistik' para pemimpin Asean, tak kehabisan akal. Apalagi usai perang dunia ke II, perang dingin berkecamuk. Kalau Asia Tenggara jatuh ke kubu komunis. Pasokan sumber daya alam mereka akan menipis. Alhasil, orang-orang blok Barat itu mulai mendekati elite-elite lokal yang kontra dengan pemimpin mereka. 

Di Indonesia pergolakan Permesta dan PRRI adalah contoh kolaborasi antara elite lokal dan intervensi asing pasca dekolonisasi. Puncak intervensi asing di Indonesia terjadi ketika kekuasaan Soekarno tumbang pada dekade 1960-an.

Di bidang ekonomi, Eropa yang mulai kehilangan pamor itu juga memiliki cara lain untuk tetap mempertahankan dan melindungi kepentingannya di Asean. Salah satunya menggunakan instrumen global, seperti World Trade Organization alias WTO.

Peristiwa atau ontran-ontran palihg anyar adalah kekalahan Indonesia dalam sengketa dengan Uni Eropa terkait eksportasi bijih nikel. 

Berdasarkan laporan final panel pada 17 Oktober 2022, Indonesia dinyatakan terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592.

Adapun, pembelaan pemerintah Indonesia lewat ketentuan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994 berkaitan dengan keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional juga ditolak badan pengatur perdagangan internasional tersebut.

Uni Eropa menang. WTO secara tidak langsung telah 'memaksa' Indonesia untuk kembali membuka keran ekspor bijih nikel yang telah dihentikan sejak 2020. WTO memandang kebijakan pelarangan ekspor nikel dan proses hilirisasi tambang yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak bisa dibenarkan alias tidak sesuai dengan ketentuan WTO.

Putusan itu tentu membenarkan alasan Eropa bahwa kebijakan Indonesia yang menghentikan eksportasi bijih nikel telah merugikan industri di Eropa. WTO hanya melihat dari sisi Eropa. Mereka sama sekali tidak melihat alasan dan kerugian Indonesia akibat terus menerus mengekspor barang mentah seperti bijih nikel ke Eropa.

Hal inilah yang kemudian dikeluhkan oleh Jokowi. Jokowi sangat geram dengan sikap 'superior' Uni Eropa dan WTO. Makanya dalam beberapa kesempatan kepala negara berulangkali menekankan pentingnya hubungan setara. Bukan hubungan atasan bawahan seperti zaman penjajahan dulu.

"Dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa," tegas Jokowi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper