Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Koalisi Parpol Mesti Cair Atasi Polarisasi Masyarakat Pasca Pilpres 2019

Ahli pemilu dan peneliti senior Perludem Didik Supriyanto berpendapat bahwa efek polarisasi masyarakat akibat Pilpres 2019 perlahan memudar secara alami apabila parpol-parpol mencairkan koalisinya menyongsong Pilkada 2020 atau Pilpres 2024.
Pekerja memasukkan data ke Sistem Informasi Penghitungan (Situng) DKI Jakarta di Hotel Merlyn Park, Jakarta, Minggu (21/4/2019). Hasil penghitungan suara Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang dimuat dalam Situng milik KPU masih terus bergerak dan ditampilkan dalam portal pemilu2019.kpu.go.id/Antara
Pekerja memasukkan data ke Sistem Informasi Penghitungan (Situng) DKI Jakarta di Hotel Merlyn Park, Jakarta, Minggu (21/4/2019). Hasil penghitungan suara Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 yang dimuat dalam Situng milik KPU masih terus bergerak dan ditampilkan dalam portal pemilu2019.kpu.go.id/Antara

Bisnis.com, JAKARTA — Ahli pemilu dan peneliti senior Perludem Didik Supriyanto berpendapat bahwa efek polarisasi masyarakat akibat Pilpres 2019 perlahan memudar secara alami apabila parpol-parpol mencairkan koalisinya menyongsong Pilkada 2020 atau Pilpres 2024.

Sebab, efek polarisasi akibat Pilpres 2014, ditambah Pilkada DKI Jakarta yang kerap disebut 'pemanasan jelang Pilpres', dilanjut kedua calon presiden kembali bertarung pada Pilpres 2019, telah memberi kesan ke publik bahwa kedua koalisi ini bermusuhan secara abadi.

"Dua tahun kan ada Pemilu Lokal [Pilkada], koalisinya kan beda-beda. Nah, polarisasi pemilih itu bisa lumer dengan sendirinya," ungkap Didik dalam sebuah diskusi di bilangan Slipi, Jakarta Barat, Kamis (2/5/2019).

"Terus terang saya berharap koalisi ini tidak bertahan. Coba bayangkan [Pilpres] 2024 koalisinya sama? Kita dan pemilih kan deg-degan terus, kasihan. Andaikata menimbulkan polarisasi baru, tidak apa-apa. Yang berbahaya itu kan dua kubu yang terus-menerus dipertentangkan," jelas Didik.

Kendati demikian, Didik tak menganggap polarisasi pemilih ini disebabkan adanya presidential threshold atau ambang pencalonan presiden, sehingga hanya ada dua capres yang muncul.

Didik lebih menekankan adanya sistem Pemilu Serentak Bertahap, yaitu memisahkan pemilu nasional (Presiden-Wakil Presiden bersama DPR RI), pemilu regional tingkat provinsi (Gubernur bersama DPRD Prov), kemudian, pemilu regional tingkat kabupaten/kota (Bupati/Wali Kota bersama DPRD kab/kota).

Dengan adanya sistem ini, masyarakat diharapkan  lebih dewasa, sebab ada pendidikan politik yang fleksibel, sehingga pengawasan pada kinerja parpol akan lebih intens.

Parpol pun mau tak mau harus berbenah, sebab pemilih tak harus menunggu lima tahun untuk 'menghukum' parpol dan kader-kadernya yang tak sesuai harapan masyarakat.

"Parpol memang dimanjakan dengan sistem yang sekarang. Apalagi masyarakat kita ini kan pelupa. Setelah Pemilu, misalnya kita marah sama parpol dua tahun, tahun ketiga mulai lupa, tahun keempat benar-benar lupa, tahun kelima waktu Pemilu kita milih lagi," ujarnya sembari bercanda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Rahayuningsih
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper