Bisnis.com, JAKARTA - Palestina akan kembali mengajukan pencalonan diri sebagai anggota tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa, kata Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki pada Selasa (15/1/2019).
Diwartakan Al Jazeera, Rabu (16/1/2019), pencalonan akan berlanjut kendati Amerika Serikat telah menyatakan akan menggunakan hak veto untuk menghalangi rencana Palestina.
"Kami tahu kami akan menghadapi hak veto Amerika namun hal itu tak akan menghalangi pengajuan kami," kata Al-Maliki kepada wartawan.
Dia menambahkan Palestina akan mulai melakukan lobi ke Dewan Keamanan PBB dalam beberapa minggu ke depan.
Palestina pernah menyampaikan pencalonan dalam keanggotaan PBB pada 2011, namun rencana itu belum sampai ke Dewan Keamanan untuk pemungutan suara.
Sebagai tindak lanjut rencana tersebut, status Palestina sebagai entitas pengamat bukan anggota meningkat menjadi negara pengamat bukan anggota.
Dengan status tersebut, Palestina memiliki hak untuk membuat perjanjian internasional yang didata oleh Sekretaris Jenderal PBB.
Sejak saat itu, Palestina telah bergabung dengan lebih dari 50 organisasi internasional, termasuk keanggotaan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan UNESCO.
Pada 2017, Interpol menyetujui pengajuan anggota Palestina. Bergabungnya Palestina ke Interpol dinilai sebagai simbol kemenangan negara tersebut di kancah internasional kendati Israel menentang.
Berkenaan dengan pencalonan sebagai anggota tetap PBB, pada Selasa Presiden Palestina Mahmouf Abbas memperoleh kursi di Grup 77, blok terbesar PBB yang terdiri dari negara berkembang yang tentunya akan memperkuat posisi Palestina pada komunitas internasional.
Dalam pidatonya, Abbas mengungkapkan bahwa Israel telah menghambat pembangunan di Timur Tengah. Ia menyatakan pula komitmennya terhadap solusi dua negara.
"Israel melanjutkan kolonisasi dan okupasinya terhadap Palestina sehingga menghambat usaha kami untuk bekerja sama dan berkoordinasi untuk menciptakan perkembangan yang kohesif bagi seluruh masyarakat di wilayah ini," ujarnya.
Pemimpin Palestina itu juga menyampaikan komitmennya untuk solusi damai yang akan mengakhiri pendudukan Israel serta mewujdukan kemerdekaan Palestina dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota dan hidup berdampingan dengan Israel.
Dalam beberapa tahun terakhir, Yerusalem justru menjadi pusat kontestasi yang lebih penting antara Palestina dan Israel. Terutama setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan memindahkan kedutaan besar ke kota itu.
Dengan keputusan itu, Trump secara sepihak mengabaikan kesepakatan internasional soal status Yerusalem yang akan ditentukan melalui negosiasi.
Abbas kemudian memutuskan hubungan dengan administrasi Trump, serta bersumpah untuk menentang setiap proposal perdamaian AS yang ia sebut akan bias dan cenderunt mendukung Israel.
Di bawah Trump, AS juga telah memotong ratusan juta dolar bantuan untuk program-program PBB yang ditujukan ke warga Palestina, termasuk dana untuk badan pengungsi Palestina (UNRWA) PBB, sehingga berdampak pada program pendidikan dan kesehatan di sana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel