Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terungkap! Penyebab Cadangan Devisa Anjlok Rp65,7 Triliun pada April 2024

Bank Indonesia (BI) buka-bukaan soal penyebab cadangan devisa anjlok Rp65,7 Triliun dalam empat bulan sejak awal 2024.
Ilustrasi cadangan devisa Indonesia dalam mata uang dolar AS. JIBI/Bisnis/Abdurachman
Ilustrasi cadangan devisa Indonesia dalam mata uang dolar AS. JIBI/Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) mengungkap penyebab cadangan devisa Indonesia anjlok sebesar US$4,2 miliar atau Rp67,5 triliun menjadi US$136,2 miliar atau setara dengan Rp2.189,9 triliun (kurs Rp16.078 per dolar AS) pada akhir April 2024.

Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa per April 2024 turun posisi bulan sebelumnya yang tercatat sebesar US$140,4 miliar atau Rp2.257 triliun. 

Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Fadjar Majardi menjelaskan penyebab penurunan cadangan devisa untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan stabilisasi nilai tukar rupiah seiring dengan peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global. 

“BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” katanya melalui keterangan resmi, Rabu (8/5/2024).

Fadjar menegaskan bahwa posisi cadangan devisa pada akhir April 2024 masih setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. 

Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan bahwa cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan yang signifikan.

Menurut dia, anjloknya cadangan devisa pada akhir April 2024 utamanya dipengaruhi oleh langkah stabilisasi nilai tukar rupiah oleh BI di tengah meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, yang bersumber dari perkembangan ekonomi di Amerika Serikat (AS) dan Timur Tengah.

Dia menjelaskan indikator ekonomi AS yang dirilis pada April mengindikasikan tren ekonomi AS yang tetap solid, dengan meningkatnya inflasi dan menurunnya tingkat pengangguran. 

"Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa the Fed akan mempertahankan suku bunga acuan untuk waktu yang lebih lama atau arah kebijakan suku bunga yang higher-for-longer," ujarnya ketika dihubungi Bisnis, Rabu (8/5/2024). 

Meningkatnya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, terutama antara Iran dan Israel, pun semakin memicu risk-off sentiment di pasar keuangan global. 

“Akibatnya, terjadi arus modal keluar dari pasar negara berkembang seperti Indonesia, disertai dengan meningkatnya permintaan akan aset-aset safe haven,” jelas Josua.

Josua mengatakan, dengan meningkatnya sentimen risk-averse tersebut, pasar obligasi dan saham Indonesia mencatatkan net outflow, yaitu sebesar US$1,06 miliar dari pasar obligasi pemerintah dan net outflow sebesar US$1,14 miliar dari pasar saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper