Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Muliaman D. Hadad

Komisaris Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Memacu Keuangan Berkelanjutan Bank Syariah

Banyak negara mulai peduli terhadap peran strategis dalam rangka menjaga keuangan berkelanjutan.
Gas rumah kaca./Ilustrasi
Gas rumah kaca./Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA - Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan telah menjadi agenda penting di berbagai negara. Kedua terminologi ini rutin digaungkan dalam Conference of the Parties (COP) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Pemerintah berbagai negara (termasuk Indonesia) telah menyepakati bahwa diperlukan aksi konkrit bersama dalam menghadapi perubahan iklim serta mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals).

Dalam beberapa penyelenggaraan COP, terdapat sejumlah keputusan penting yang menjadi pendorong penyesuaian strategi pemerintah dan swasta terkait isu perubahan iklim. Dimulai dari COP 1 (Jerman, 1995), The Berlin Mandate mendorong penetapan target penurunan emisi yang mengikat secara hukum dan ditindaklanjuti pada COP 3 (Jepang, 1997), The Kyoto Protocol melalui pengenalan tiga mekanisme market-based perdagangan emisi.

Selanjutnya dalam COP 21 (Perancis, 2015), The Paris Agreement menyatakan komitmen untuk menjaga peningkatan suhu dunia di bawah 1,5° Celsius serta pengenalan Nationally Determined Contribution (NDC) yang dikomunikasikan melalui UNFCCC.
Terakhir, COP 28 (Uni Emirat Arab, 2023) menyepakati penggunaan energi terbarukan dan pengurangan penggunaan bahan bakar fosil untuk mencapai net zero emission (NZE) tahun 2050.

COP yang telah berlangsung selama hampir tiga dekade tersebut telah menghasilkan beberapa progres signifikan, di tengah tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.

Di antaranya, 70% ekonomi dunia telah berkomitmen untuk mencapai NZE. Kemudian, berbagai bank, perusahaan keuangan, asuransi, dan investor telah mengubah paradigmanya mengenai perubahan iklim dan melakukan adaptasi usaha untuk menghadapinya. Bahkan, sebanyak US$78,9 miliar telah dihimpun oleh negara maju untuk pembiayaan iklim (OECD, 2020). Serta, lebih dari 160 perusahaan dengan total aset US$70 triliun berkomitmen untuk mencapai target NZE (UN, 2021).

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah telah menyusun dan memperbarui NDC-nya dari 2016 sampai dengan Enhanced NDC pada 2022 untuk mencapai NZE, melalui target penurunan emisi domestik pada tahun 2030 sebanyak 31,89% (dengan usaha sendiri) dan 43,20% (dengan dukungan).

Salah satu dukungan yang diperlukan untuk mencapai target tersebut adalah melalui pembiayaan atau keuangan berkelanjutan (sustainable finance).

SF erat kaitannya dengan perubahan iklim, tetapi tidak terbatas hanya pada aspek lingkungan. Sebab, SF mengintegrasikan aspek lingkungan (environment), sosial (social), dan tata kelola (governance) atau ESG ke dalam keputusan investasi dan pembiayaan yang diselaraskan dengan Sustainable Development Goals (SDG). Sehingga, cakupan SF lebih luas.

Pada konteks industri keuangan syariah, fokus SF dengan ESG selaras dengan tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah) yang menjadi landasan bisnis bank syariah. Pada aspek lingkungan misalnya, prinsip penggunaan sumber daya alam secara bertanggung jawab sejalan dengan prinsip pelestarian alam sebagai amanah Allah SWT.

Berdasarkan prinsip ini, bank syariah dapat berperan aktif membiayai proyek ramah lingkungan, mengembangkan produk dan layanan berbasis green, serta menerapkan praktik ramah lingkungan di kantor-kantornya.

Lalu, pada aspek sosial, prinsip yang didorong adalah mempromosikan keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini telah dilakukan bank syariah melalui peran aktifnya menjadi lembaga penerima zakat, infak, sedekah, dan wakaf serta menyalurkannya melalui lembaga filantropi. Bank syariah juga mendorong program pemberdayaan masyarakat dan UMKM.

Kemudian, dalam hal tata kelola, prinsip SF mendukung transparansi, akuntabilitas, dan etika dalam aktivitas bisnis. Prinsip yang sama dijunjung bank syariah dalam setiap aktivitasnya. Bahkan, terdapat pengawasan etika bisnis sesuai prinsip syariah yang dijalankan oleh Dewan Pengawas Syariah.

Melihat keselarasan tersebut, bank syariah sudah seharusnya menjadi yang terdepan dalam mengintegrasikan SF dalam strategi bisnis dan operasional. Sebab, melalui penerapan SF bank dapat memperoleh beberapa manfaat seperti perluasan peluang bisnis pada sektor ramah lingkungan, peningkatan kinerja keuangan dan daya saing melalui efisiensi operasional, serta penguatan manajemen risiko pada sektor ESG.

Selain itu, minat investor dengan preferensi ESG berpotensi meningkat, reputasi dan citra positif akan terbangun, hingga peningkatan valuasi saham bank dalam jangka panjang. Sebagai gambaran, pada tahun 2022 tercatat US$30,3 triliun diinvestasikan pada aset ESG dan diperkirakan meningkat menjadi US$33,9 triliun pada 2026 (PWC, 2022).

Di samping itu, terdapat tren positif yang muncul pascapandemi, yaitu meningkatnya kesadaran masyarakat pada beberapa aspek yang esensial. Pertama, adanya peningkatan kesadaran pada kesehatan dan kepedulian terhadap kebersihan serta kelestarian lingkungan. Kedua, kepedulian masyarakat terhadap kondisi masyarakat kurang mampu meningkat dan perilaku ini menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia (World Giving Index, 2023). Ketiga, peningkatan kesadaran akhlak dan etika dalam bekerja, berbisnis, dan berwirausaha. Terakhir, digitalisasi bisnis di banyak sektor usaha menjadi keniscayaan pascapandemi.

Maka, untuk mengoptimalkan potensinya, terdapat tiga hal yang perlu dilakukan bank syariah. Pertama, edukasi prinsip keuangan berkelanjutan dan ESG kepada segenap stakeholder yang meliputi nasabah, investor, dan masyarakat dengan kolaborasi bersama pemerintah, regulator, dan organisasi non-profit.

Kedua, formulasi framework ESG yang akan digunakan sebagai pedoman untuk pelaksanaan, pengukuran, serta pengawasan ESG di bank Syariah, termasuk sertifikasi dan rating ESG.

Ketiga, peningkatan porsi pembiayaan di sektor ESG, dengan tetap menerapkan manajemen risiko yang prudent.

Secara prinsip dan nature-nya, bank syariah semestinya menjadi prime mover pencegahan perubahan iklim melalui keuangan berkelanjutan. Namun, bila bank syariah tidak berupaya mengadopsinya, maka bank Syariah tidak hanya kehilangan momentum, tetapi juga berpotensi kehilangan pangsa pasar dan daya saing di masa yang akan datang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper