Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Impor Beras Jalan Terus Saat Panen Raya, Bulog Beri Penjelasan

Bulog menjelaskan soal impor beras tetap dilakukan di tengah musim panen raya berlangsung.
Petani memanen padi disawah garapannya di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/4/2020). Bisnis/Abdurachman
Petani memanen padi disawah garapannya di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/4/2020). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA - Perum Bulog memastikan impor beras tetap berjalan seiring adanya panen raya padi.

Direktur Utama Perum Bulog, Bayu Krisnamurthi menyebut, hingga saat ini realisasi impor beras telah mencapai sekitar 1,3 juta ton dari total kuota impor tahun ini sebanyak 3,6 juta ton.

"Ya saat ini kita terus jalan [impor]," ujar Bayu saat memantau penyaluran bantuan beras di Kantor Kelurahan Pela Mampang, Jumat (3/5/2024).

Kendati impor terus berlangsung saat ini, Bayu memastikan beras dari luar negeri tidak mengganggu harga petani saat panen raya. Musababnya, kedatangan impor beras, kata Bayu, akan difokuskan pada wilayah non-sentra produksi yang masih berisiko terhadap pasokan dan harga beras.

"Untuk beberapa daerah yang memang sentra produksi kita lihat apakah ada gejala harga terpengaruh akibat impor, maka kita bisa hentikan [impor] sewaktu-waktu," tuturnya.

Berlanjutnya pengadaan beras impor dan penyerapan hasil panen raya, kata Bayu, diperlukan untuk memastikan stok beras Bulog memadai di atas 1 juta ton sepanjang tahun. Pasalnya, Bayu memperkirakan bahwa panen pada musim selanjutnya atau paceklik berisiko tidak semulus yang diharapkan.

Dengan stok beras yang memadai, menurut Bayu, memungkinkan pemerintah lebih leluasa menjalankan sederet program stabilisasi pasokan dan harga beras, termasuk bantuan pangan. Adapun stok beras Bulog saat ini tercatat sebanyak 1,6 juta ton.

"Misalnya pemerintah ingin melanjutkan program bantuan pangan, Bulog harus punya stok," jelasnya.

Berdasarkan catatan Bisnis.com, Kamis (25/4/2024), Bayu menyebut depresiasi nilai Rupiah memberikan dampak langsung terhadap biaya importasi beras dan jagung.

“Jadi tonase dikali dengan harga dikali dengan kurs. Kalau kursnya naik 10% maka total kebutuhan biaya untuk membayar impor naik 10%. Itu langsung sifatnya,” ungkap Bayu.

Adapun asumsi dolar yang digunakan dalam perhitungan biaya Bulog adalah asumsi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Diketahui, nilai tukar Rupiah dalam asumsi dasar ekonomi makro pada APBN 2024 disepakati sebesar Rp15.000 per dolar AS.

Sementara, berdasarkan data Bloomberg, Rupiah tercatat turun 0,20% atau 32 poin ke posisi Rp16.187 per dolar AS pada Kamis (25/4/2024).

“Anda bisa melihat perbedaan antara dolar riil dengan asumsi APBN, disitulah terjadinya kenaikan biaya Bulog,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Rachmawati
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper