Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Efek Samping Kenaikan BI Rate jadi 6,25%

Kenaikan suku bunga acuan menjadi 6,25% menimbulkan respons dari berbagai kalangan. Berikut sederet efek samping kenaikan BI Rate.
Maria Elena, Ni Luh Anggela, Tegar Arief
Kamis, 25 April 2024 | 07:30
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni P. Joewono (kedua kiri) memberikan keterangan saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Rabu (21/2/2024). Bisnis/Arief Hermawan P
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni P. Joewono (kedua kiri) memberikan keterangan saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Rabu (21/2/2024). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) secara tak terduga menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,25% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG), Rabu (24/4/2024). Keputusan tersebut sekaligus mengubah konstelasi pasar keuangan di dalam negeri.

Selama ini, pelaku pasar meyakini bank sentral akan mengeksekusi pelonggaran melalui pemangkasan BI Rate sejalan dengan terkendalinya inflasi di dalam negeri. 

Namun, pelemahan rupiah hingga menembus level Rp16.200 per dolar AS atau level terendah sejak 2020 silam tak lagi dapat ditolerir. Kenaikan BI Rate pun merupakan langkah berani sekaligus jalan pintas yang ditempuh otoritas moneter untuk stabilisasi pasar keuangan. 

Kenaikan BI Rate menjadi 6,25% merupakan yang tertinggi sejak Juli 2016. Hal itu akan meredam tekanan eksternal karena terjadi pelebaran positif spread dengan imbal hasil instrumen keuangan negara lainnya.

Tujuannya tak lain agar instrumen keuangan Indonesia lebih menarik dan tentunya memperkuat nilai tukar rupiah yang merana dalam beberapa waktu terakhir. 

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkap alasan Dewan Gubernur BI menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25% pada April 2024. 

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23 dan 24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI Rate 25 basis poin menjadi sebesar 6,25%,” ujarnya dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (17/1/2024).

Sejalan dengan kenaikan BI Rate, suku bunga Deposit Facility terkerek menjadi sebesar 5,50%, dan suku bunga Lending Facility naik menjadi 7,00%.

Perry menyampaikan kenaikan suku bunga ini dipertimbangkan BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global. Hal ini juga sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability. 

Di sisi global, dia menjelaskan bahwa dinamika ekonomi keuangan berubah sangat cepat dengan risiko dan ketidakpastian yang meningkat.

Perkembangan ini utamanya disebabkan oleh perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah, salah satunya konflik Iran vs Israel. 

"Risiko terkait arah penurunan Fed Funds Rate atau FFR dan dinamika ketegangan geopolitik global harus dicermati karena dapat mendorong berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global, meningkatnya tekanan inflasi, dan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia," jelasnya. 

Dampak Kenaikan BI Rate 

Kebijakan bank sentral untuk menaikkan suku bunga tentu memberi dampak ke berbagai sektor. Kebijakan tersebut akan menghambat keinginan ekspansi dunia usaha yang pada kuartal I/2024 cukup bergairah karena semakin mahalnya akses pembiayaan perbankan.

Bank Sentral pun bukannya tidak menyadari adanya konsekuensi yang berat itu. Namun, lagi-lagi keterbatasan kemampuan dalam menjaga mata uang Garuda menjadi pijakan kuat untuk mengambil aksi penuh risiko tersebut.

Apabila dicermati, kenaikan BI Rate ini juga mencerminkan adanya keterbatasan efektivitas berbagai instrumen operasi moneter yang selama ini dijalankan.

Di antaranya Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI), Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), dan kebijakan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA).

Apalagi intervensi rupiah yang dilakukan juga belum membuahkan hasil, terbukti dengan terus menurunnya cadangan devisa yakni dari US$145,1 miliar pada Januari 2024 menjadi US$140,4 pada Maret 2024.

Perry Warjiyo mengatakan kenaikan suku bunga ini sebagai langkah untuk mendukung stabilitas rupiah dari kemungkinan peningkatan risiko global.

Terlebih lagi, BI memperkirakan rupiah baru akan mendarat di level Rp15.000 per dolar AS pada pengujung tahun. Artinya, lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama kembali langgeng. Perry menegaskan bahwa rupiah akan dijaga tetap stabil pada level Rp16.200 per dolar AS pada kuartal II/2024, selanjutnya menguat ke level Rp16.000 per dolar AS pada kuartal III/2024.

“Bahkan akan menguat rata-rata Rp15.800 pada kuartal IV/2024,” katanya. 

Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
Ilustrasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS

Sementara itu, pelaku usaha meminta pemerintah untuk menyeimbangkan langkah BI sehingga mampu meringankan beban dunia usaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan pascakenaikan BI Rate, pelaku usaha yang mengharapkan nilai tukar dapat menguat.

Menurutnya, pemerintah harus menjamin keterjangkauan biaya pembiayaan serta menjaga daya saing dan keterjangkauan suku bunga pinjaman usaha riil dalam negeri.

Pemerintah juga diminta menjaga kelancaran arus pendanaan usaha riil, khususnya yang mempengaruhi kondisi geopolitik dan pelemahan rupiah.

"Jadi sedapat mungkin beban-beban terhadap perluasan kinerja usaha, investasi, dan ekspor harus ditingkatkan efisiensinya, bukan ditambah," jelasnya.

Wakil Ketua Umum Kadin Sarman Simanjorang mengatakan, pihaknya tengah menganalisis sejumlah dampak yang berpotensi memengaruhi dunia usaha imbas kenaikan suku bunga acuan di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. 

"Dunia usaha tentunya akan melakukan kalkulasi ulang dan menahan upaya ekspansi usaha," kata Sarman saat dihubungi, Rabu (24/4/2024).

Kadin juga menyebut pengusaha mulai mengatur ulang kembali pos pengeluaran termasuk penyesuaian biaya produksi sehingga berpotensi memicu kenaikan harga barang pada konsumen

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengatakan tengah mengkaji kemungkinan untuk memanfaatkan ruang fiskal yang ada guna menyelamatkan pelaku ekonomi.

Dalam kaitan BI Rate, menurutnya adalah langkah yang tepat untuk melawan pelemahan rupiah sehingga dunia usaha tidak semakin terbebani.

"Lihat kita ruang fiskal apa yang bisa kita berikan, insentif ke depan.Tetapi mekanisme pertahanan [kenaikan BI Rate] itu sudah berada di koridor yang pas," katanya.

Selaras dengan dunia usaha, para ekonom berharap perbankan tidak serta-merta mengekor langkah BI tersebut untuk menjaga ruang ekspansi pebisnis di Tanah Air.

Ekonom dan Associate Fakultas Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto, mengatakan perbankan harus mengkalkulasi ulang dengan tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan kreditur dan debitur agar tidak mengganggu aktivitas bisnis.

Menurutnya, perbankan bisa melakukan stress test untuk menguji ketahanan bank-bank secara individu baik terkait dengan meningkatnya risiko geopolitik global maupun oleh kebijakan moneter terkini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper