Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Timur Tengah Memanas, Kebijakan Gas Murah Industri Berisiko Bikin APBN Boncos

Kelanjutan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) dinilai berisiko meningkatkan defisit APBN di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah.
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN

Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah tensi panas geopolitik akibat konflik Timur Tengah, pemerintah disebut mesti cermat mengambil langkah kelanjutan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah industri. 

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai konflik Timur Tengah berpotensi memicu krisis ekonomi dan Indonesia menjadi negara yang terdampak besar. Hal ini lantaran RI ketergantungan terhadap impor energi dan fluktuasi dolar Amerika Serikat masih tinggi.  

"Kami menilai tensi geopolitik saat ini lebih bersifat temporer sehingga tidak tepat untuk menjadikannya momentum untuk melanjutkan HGBT," kata Josua, dikutip Rabu (24/4/2024). 

Menurut dia, alih-alih berdampak luas bagi industri, kebijakan gas murah ini berisiko mengancam sektor migas hingga mengurangi potensi penerimaan negara. 

Di tengah tekanan tambahan belanja subsidi pemerintah akibat naiknya impor BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah, penerapan kebijakan HGBT ini dapat meningkatkan defisit APBN. 

Apalagi, Indonesia tengah dihadapkan risiko twin deficit seiring menurunnya neraca perdagangan. Sebuah kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Maret 2024, neraca dagang Indonesia mengalami surplus US$4,47 miliar. Surplus yang diperoleh dari transaksi perdagangan sektor nonmigas sebenarnya lebih tinggi, yakni US$6,51 miliar, tetapi tereduksi oleh defisit perdagangan sektor migas US$2,04 miliar. 

Penerimaan negara juga dikhawatirkan cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga-harga komoditas.

"Kami menilai penerapan HGBT ini sebaiknya dikaji kembali, dengan mempertimbangkan kondisi pemulihan di setiap industri, jumlah pemanfaatannya, dan dampaknya terhadap masyarakat luas," jelasnya.

Sebagai informasi, kebijakan yang dilahirkan untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 pada tahun 2020 itu ditujukan kepada tujuh sektor industri yang akan berakhir tahun ini. 

Josua menuturkan, keberlanjutan HGBT hanya akan semakin memberatkan keuangan negara jika dilanjutkan dalam situasi ini. Jika berlanjut, pemerintah perlu menyeleksi kembali industri-industri yang memang memiliki manfaat terhadap masyarakat banyak untuk dapat menerima HGBT. 

Di sisi lain, dia tak menampik pengusaha industri meminta HGBT dilanjutkan sebagai langkah antisipasi meningkatnya tensi geopolitik global akibat serangan Iran ke Israel. Meski begitu, industri migas juga perlu dipertimbangkan keberlangsungannya sebagaimana industri lainnya.

”Selain itu, kondisi geopolitik ini pun berpengaruh terhadap seluruh dunia, dengan demikian berbagai industri di dunia lain menghadapi hal yang sama yakni peningkatan biaya energi,” terangnya. 

Pihaknya menilai bahwa mendorong daya saing industri melalui kebijakan HGBT ini kurang tepat. Peningkatan daya saing industri harus dapat didorong ke arah yang lebih fundamental, seperti peningkatan teknologi produksi, efisiensi biaya produksi, penurunan biaya berusaha ataupun penurunan biaya logistik sehingga biaya produksi lebih murah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper