Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Manufaktur Pulih, tapi Dinilai Masih Hadapi Tantangan Berat

Posisi penting sektor manufaktur masih mengalami berbagai tantangan yang membuat performanya tidak maksimal.
Aktivitas karyawan di salah satu pabrik di Jakarta, Jumat (20/9/2019). Bisnis/Arief Hermawan P
Aktivitas karyawan di salah satu pabrik di Jakarta, Jumat (20/9/2019). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Kinerja manufaktur dinilai mulai menjejak fase pemulihan pascapandemi, meskipun masih menghadapi berbagai tantangan mulai dari infrastruktur hingga persoalan bea masuk.

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia Teuku Riefky menyebut pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia pasca pandemi Covid-19 sudah mulai pulih dan menunjukkan perkembangan positif.

“Sektor manufaktur merupakan penyumbang produk domestik bruto [PDB] terbesar dalam perekonomian Indonesia,” tutur Riefky, dikutip pada Minggu (7/4/2024).

Namun Riefky menekankan bahwa posisi penting sektor manufaktur tersebut mengalami berbagai tantangan yang membuat performanya tidak maksimal.

"Kalau kita lihat faktor apa yang mempengaruhi, ada bermacam-macam, dari sisi daya saing tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, investasi yang masuk, iklim persaingan usaha, infrastruktur dan berbagai macam faktor lainnya," katanya.

Menurut Riefky ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan berbagai kementerian atau lembaga negara yang dengan sendirinya memberikan imbas negatif pada performa sektor industri manufaktur.

“Saya tidak menyebutkan kementerian mana secara spesifik, tapi banyak kebijakan dari sisi regulasi, investasi, perbaikan infrastruktur, kemudahan berusaha, serta regulasi terkait misalnya akuisisi lahan yang memberikan dampak negatif terhadap industri dalam negeri,” beber Riefky.

Riefky juga menjelaskan bahwa sisi kebijakan fiskal Indonesia seperti bea masuk dan sebagainya ikut punya andil dalam daya saing sektor industri manufaktur Indonesia.

"Dari sisi bea masuk juga tentu ada dampaknya terhadap daya saing industri nasional," tambah Riefky.

Dalam konteks itu menurutnya Indonesia pemerintah perlu mengekspos sektor industri dalam negeri untuk mampu bersaing menghadapi industri luar negeri, tetapi pemerintah harus jelas dalam memberikan insentif untuk industri agar dapat bersaing dengan baik.

"Industri kita perlu diekpose pada persaingan dengan produk-produk luar disertai dengan insentif . Namun bukan berarti harus diproteksi secara utuh, kemudian tidak terekspose dari sisi persaingan terhadap kondisi global," tutup Riefky.

Senada dengan pandangan optimistis mengenai pertumbuhan sektor industri manufaktur tersebut, persepsi pelaku usaha di Indonesia juga ada pada teritori positif. S&P Global baru saja merilis data Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada bulan Maret 2024 yang berada di level 54,2 atau naik 1,5 poin dibanding capaian bulan Februari yang menyentuh angka 52,7.

 

Angka tersebut menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur Indonesia sedang berada pada posisi ekspansif selama 31 bulan berturut-turut. Ini sejalan juga dengan capaian Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada bulan Maret yang sama-sama berada pada fase ekspansi di level 53,05.

Kinerja PMI Manufaktur Indonesia pada Maret 2024 lebih baik dibandingkan PMI Manufaktur negara-negara peers yang masih berada di fase kontraksi, seperti Malaysia (48,4), Thailand (49,1), Vietnam (49,9). Bahkan pencapaian tersebut lebih baik dari beberapa negara industri maju seperti Jepang (48,2), Korea Selatan (49,3), Jerman (41,6), Prancis (45,8), dan Inggris (49,9).

Di sisi lain, Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengungkapkan bahwa kebijakan HGBT sangat berdampak positif bagi industri nasional.

“Kebijakan HGBT membuat industri nasional tumbuh dan survive dan berkontribusi terhadap peningkatan pajak, penambahan devisa dengan peningkatan ekspor dan penghematan devisa karena penurunan impor, peningkatan investasi serta penambahan serapan tenaga kerja,” ungkap Yustinus.

Kebijakan HGBT mendorong performa sektor industri manufaktur pasca menghadapi pandemi Covid-19. Tujuh sektor penerima HGBT meliputi pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, sarung tangan karet memberikan nilai tambah bagi sektor perekonomian nasional mencapai Rp157,2 triliun.

Oleh karena itu, kelanjutan kebijakan HGBT yang akan habis pada Desember 2024 merupakan keniscayaan atau sesuatu yang tidak bisa tidak dilaksanakan.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Kahfi
Editor : Kahfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper