Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Abdul Manap Pulungan

Ekonom Indef

Abdul Manap Pulungan adalah Ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance). Alumni S-1 bidang Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Brawijaya ini meraih gelar magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Universitas Indonesia pada tahun 2014.

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Pengetatan Moneter & Fiskal

Perlambatan pertumbuhan ekonomi 2023 sudah diprediksi oleh sejumlah lembaga. Indef mengalkulasi output Indonesia tumbuh sekitar 4,9% pada 2023.
Ilustrasi suku bunga perbankan. Dok Freepik
Ilustrasi suku bunga perbankan. Dok Freepik

Bisnis.com, JAKARTA - Perlambatan pertumbuhan ekonomi 2023 sudah diprediksi oleh sejumlah lembaga. Indef, misalnya, mengalkulasi output Indonesia tumbuh sekitar 4,9% pada 2023. OECD juga menetapkan angka yang serupa. Meski realisasinya sekitar 5,05%; pertumbuhan ekonomi 2023 cukup rendah dari potensi yang ada.

Sementara itu, asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menargetkan angka 5,3%. Dengan realisasi 5,05%; target pertumbuhan ekonomi 2023 kembali gagal dicapai. Penurunan dan perlambatan pertumbuhan ekonomi sangat disayangkan di tengah kebutuhan pertumbuhan tinggi untuk mengejar target negara maju. Disyaratkan pertumbuhan minimal US6$ untuk bisa menjadi negara maju pada 2045.

Persoalan utama perlambatan pertumbuhan ekonomi 2023 adalah pengetatan moneter dan fiskal secara bersamaan. Bahkan, pengetatan tersebut berlanjut hingga saat ini. Pengetatan moneter dimulai sejak Agustus 2022 melalui kenaikan suku bunga acuan, sebelum penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Keputusan tersebut juga diarahkan untuk pengelolaan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sebagai respons terhadap kebijakan pengetatan The Fed. Namun dampaknya sangat kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan suku bunga acuan ditujukan untuk mengelola likuiditas di dalam perekonomian lewat likuiditas perbankan. Secara teori, kenaikan suku bunga acuan menaikkan suku bunga pasar (Pasar Uang Antar Bank/PUAB) dan bergerak ke suku bunga simpanan dan pinjaman. Kenaikan suku bunga pinjaman menyebabkan permintaan kredit baru menurun dan menurunkan jumlah uang beredar (JUB). Kondisi tersebut, pada akhirnya, menurunkan permintaan agregat (Aggregate Demand/AD) dan menurunkan inflasi. Transmisi yang demikian terlihat nyata selama 2023.

Data berikut menunjukkan transmisi kenaikan suku bunga kebijakan ke suku bunga perbankan. Juli 2022, suku bunga acuan sebesar 3,5%, naik menjadi 3,75% pada Agustus. Kenaikan suku bunga acuan terus berlanjut dalam level yang lebih tinggi. Akhir 2023, suku bunga acuan mencapai 6% setelah dinaikkan pada Oktober. Suku bunga PUAB pagi (keseluruhan) naik dari 2,91% (Juli 2022) menjadi 6,09% (Desember 2023). Sementara itu, PUAB sore (keseluruhan) naik dari 3,08% menjadi 6,01%.

Suku bunga PUAB valas (keseluruhan) naik dari 2,53% menjadi 5,39%. Suku bunga deposito (12 bulan) naik dari 3,27% menjadi 5,76%. Suku bunga kredit modal kerja naik dari 8,42% menjadi 8,86%, suku bunga kredit investasi naik dari 8,13% menjadi 8,81%, sedangkan suku bunga kredit konsumsi turun 10,26% menjadi 10,13%.

Sepanjang Juli 2022—Desember 2023, kenaikan suku bunga acuan mencapai 250 bps atau 2,5%. Kenaikan yang terjadi pada PUAB lebih tinggi. Kenaikan suku bunga PUAB mencerminkan likuiditas pasar mengetat. PUAB Rupiah Pagi Keseluruhan dan PUAB Rupiah Sore Keseluruhan masing-masing naik 318 bps (3,18%) dan 293 bps (2,93%). Kenaikan suku bunga deposito mencapai 249 bps (2,49%). Kenaikan cost of fund mendorong bank-bank menyalurkan dana ke penempatan dengan pendapatan pasti (zero risk) seperti SBN dan SRBI untuk memastikan pendapatan.

Kenaikan suku bunga kredit modal kerja dan investasi masing-masing 44 bps dan 68 bps. Suku bunga kredit konsumsi turun 13 bps. Relatif rendahnya kenaikan suku bunga kredit belum mampu mendorong pertumbuhan kredit yang lebih tinggi karena permintaan rendah. Permintaan rendah karena daya beli masyarakat menurun.

Pokok persoalan di sisi moneter lainnya adalah kebijakan moneter kontraksi lewat menerbitkan berbagai instrumen penyerap likuiditas. Untuk rupiah, Bank Indonesia menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang menyedot likuiditas hingga Rp254 triliun sepanjang 2023. Hadirnya SBRI sangat menarik bagi bank karena imbal hasil yang lebih tinggi.

Dari sisi fiskal, pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2022, dari 10% ke 11%. Hal tersebut didasarkan pada UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasal 7 disebutkan bahwa tarif PPN: (i) sebesar 11 persen (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; (ii) sebesar 12 persen (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025 dan (iii) tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen (lima persen) dan paling tinggi 15 persen (lima belas persen).

Kenaikan tarif PPN menaikkan penghimpunan PPN dan PPnBM mencapai Rp687,6 triliun, naik dari 24,6% (YoY) pada 2022 sedangkan pada 2023 mencapai Rp764,34 triliun (tumbuh 11,16%). PPN Dalam Negeri, sebagai komponen terbesar dalam penerimaan pajak nonmigas, tumbuh 13,69 persen (yoy) dan 22,11 persen masing-masing pada 2022 dan 2023.

Secara makro kenaikan PPN tahun 2022 memang tidak begitu terasa bagi perekonomian karena terbantu momentum kenaikan harga komoditas dunia. Ekonomi masih tumbuh hingga 5,31%. Kenaikan harga komoditas dunia mendorong pertumbuhan ekonomi nasional maupun ekonomi regional, khususnya bagi daerah-daerah berbasis komoditas. Namun, bagi golongan menengah ke bawah kenaikan PPN tersebut menyebabkan daya beli terus menurun. Penurunan daya beli tersebut terkonfirmasi dari penurunan inflasi inti.

Inflasi inti tahun 2022 mencapai 3,36% yang turun menjadi 1,8% pada 2023. Pada sisi lain, inflasi bahan makanan (volatile food) melonjak tinggi dari 5,61% pada 2022 menjadi 6,73%. Melihat pola kedua inflasi tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat terpukul dua kali. Daya beli terus menurun sedangkan kebutuhan pokok terus meningkat.

Implikasi dari pengetatan dua sektor tersebut terlihat dari penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga, dari 4,93% (2022) menjadi 4,82% (2023). Penurunan ini sangat mengkhawatirkan karena tingginya kontribusi sektor tersebut yang sangat besar (53%) dalam pembentukan output.

Tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan 5,2%. Faktor pendorong hanya tersisa Idulfitri, Pilkada dan Tahun Baru. Dengan situasi daya beli yang terus menurun, target pertumbuhan tersebut sulit tercapai. Apalagi, situasi di global pun belum membaik. Pengetatan moneter yang berlangsung hingga saat ini patut menjadi perhatian situasi di dalam perekonomian akan makin sulit jika rencana kenaikan PPN menjadi 12% dieksekusi tahun depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper