Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Top 5 News Bisnisindonesia.id: Pamor Nikel hingga Neraca Dagang Alkes

Berita tentang pamor baterai nikel kala LFP dan sodium-ion naik daun menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id hari ini, Rabu (31/1/2023).
Top 5 News. Sumber: Canva.
Top 5 News. Sumber: Canva.

Bisnis.com, JAKARTA — Bermunculannya sejumlah material alternatif sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik membuat persaingan industri baterai kendaraan terelektrifikasi tersebut kian menarik untuk dicermati.

Terlebih, pamor nikel, litium, dan kobalt yang selama ini bisa dibilang menjadi logam penting dalam industri baterai, mulai meredup. Harga ketiga komoditas logam itu sepanjang tahun lalu juga cukup merana, bahkan untuk litium turun hampir 70% dan nikel turun 40%.

Berita tentang pamor baterai nikel kala LFP dan sodium-ion naik daun menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id hari ini, Rabu (31/1/2023). Selain berita tersebut, sejumlah berita menarik lainnya turut tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id.

Berikut ini highlight Top 5 News Bisnisindonesia.id hari ini:

1. Memoles Pamor Baterai Nikel Kala LFP dan Sodium-Ion Naik Daun

Belakangan, lithium ferro phosphate atau baterai LFP menjadi viral sebagai bahan baku baterai setelah menjadi salah satu topik perdebatan dalam ajang Debat Cawapres, Minggu (20/1/2024).

Masih hangat perbincangan mengenai baterai LFP, kini muncul lagi pesaing baru untuk baterai NMC (Nickel Manganese Cobalt), yakni baterai dengan sodium-ion yang menawarkan harga jauh lebih murah.

Lantas, bagaimana prospek baterai kendaraan listrik berbasis nikel di tengah bermunculannya sejumlah material alternatif tersebut? Terlebih, Indonesia juga sedang gencar-gencarnya mendorong proyek penghiliran nikel untuk mendukung industri baterai kendaraan listrik.

Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tetap berkeyakinan bahwa baterai berbasis nikel masih digunakan oleh pabrikan mobil listrik dunia, termasuk Tesla. Menurutnya, baterai berbasis nikel memiliki kelebihan dibandingkan LFP karena dapat didaur ulang.

Saat ini, kata Luhut, fokus baterai yang dikembangkan Indonesia, yakni NMC sudah bisa didaur ulang atau masuk ke tahap recyle. Sementara itu, baterai berbasis besi atau LFP belum mampu didaur ulang. 

2. Waspada Gejolak Rupiah di Paruh Pertama

Berbagai kalangan harus bersiap dengan volatilitas rupiah pada semester I/2024 menyusul ramalan Bank Indonesia yang memperkirakan nilai tukar  rupiah baru akan stabil pada semester II/2024. 

Ramalan BI itu mengacu pada ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed yang baru dieksekusi pada semester kedua tahun ini. Hal itu sejalan dengan inflasi di AS yang belum mendekati target bank sentral serta masih menjaga momentum belanja dan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri AS. 

Dengan demikian, sepanjang lima bulan ke depan, pasar keuangan Indonesia masih penuh tantangan. Rupiah sejauh ini (year-to-date) telah melemah 2,6%, berbanding terbalik dengan tahun lalu yang menguat 1,1%. Gejolak kurs bisa berdampak negatif bagi aktivitas pelaku usaha, terutama yang memiliki ketergantungan pada bahan baku impor dan utang valas. 

Bank sentral dan pemerintah perlu menguatkan strategi stabilitas kurs hingga tengah tahun ini. Menkeu dan Gubernur BI menyatakan instrumen baru seperti SRBI dan SUVBI, bisa dimanfaatkan untuk menarik investor asing yang berguna untuk menopang stabilitas rupiah.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan bahwa perkembangan nilai tukar  rupiah dalam 1 hingga 2 pekan terakhir lebih dipengaruhi oleh pemberitaan terkait dengan kondisi global.

Perry menjelaskan, pasar memperkirakan suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS), Fed Funds Rate (FFR) akan mulai diturunkan pada kuartal pertama atau kedua 2024.

Namun demikian, imbuhnya, the Fed kemungkinan juga belum akan menurunkan suku bunga jika melihat data perekonomian AS terbaru.

3. Mencari Asa Pembiayaan Alat Berat di Tengah Perlambatan

Pelaku industri optimistis pembiayaan alat berat akan tumbuh sepanjang tahun ini, meskipun diprediksi melambat di tengah gejolak harga komoditas. Kondisi tersebut tercermin dari adanya penurunan penyaluran pembiayaan pada lini bisnis tersebut.

Misalnya saja, pembiayaan PT Mandiri Tunas Finance (MTF) yang mencatatkan penurunan pembiayaan alat berat sebesar 13,2% menjadi Rp1,9 triliun pada 2023, sementara pada 2022 tercatat mencapai Rp2,2 triliun.

Adapun porsi pembiayaan alat berat perseroan sepanjang 2023 berkontribusi sebesar 6% dari total portofolio. Dengan capaian ini terjadi penurunan porsi sebesar 2% secara tahunan (year on year/yoy) dalam bisnis perusuahaan. Sementara itu, pada tahun lalu total pembiayaan MTF mencapai lebih dari Rp32 triliun. Jumlah ini melonjak 18% dibandingkan pada 2022. 

Dia mengatakan, penurunan porsi pembiayaan alat berat itu merupakan salah satu bagian dari strategi perusahaan. Dalam hal ini, MTF memilih untuk fokus pada peningkatan segmen nasabah baru Bank Mandiri dan nasabah eksisting untuk menjaga kualitas.

Sedangkan untuk 2024, perseroan akan menjaga porsi pembiayaan alat berat dalam rentang 6-7%. Strategi yang dijalankan yakni meningkatan sinergi dengan Bank Mandiri dan layanan yang baik kepada nasabah eksisting.

Setali tiga uang, PT Chandra Sakti Utama Leasing (CSUL Finance) mencatatkan penyaluran pembiayaan alat berat baru sebanyak Rp1,8 triliun sepanjang 2023. Catatan tersebut mengalami penurunan sebesar 11,1% secara tahunan (year on year/yoy), apabila dibandingkan pada 2022 yang mencapai Rp2 triliun.

4. Modal Cekak Investasi Proyek Ketenagalistrikan PLN

Persoalan pendanaan masih menjadi aral yang kian menantang bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam upaya membangun pembangkit dan infrastruktur ketenagalistrikan lainnya.

Jangankan mempercepat bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam sistem ketenagalistrikan, untuk menjaga keandalan sistem kelistrikan saja, perusahaan setrum pelat merah itu sudah kewalahan jika harus melakukannya sendiri karena dibutuhkan investasi yang tidak sedikit.

Di sisi lain, realisasi rasio elektrifikasi hingga akhir 2023 baru mencapai 99,78%, dengan rasio desa berlistrik sebesar 99,83%. Pada saat bersamaan, pertumbuhan penggunaan EBT dalam bauran energi nasional hingga akhir 2023 hanya mencapai 13,1% atau tumbuh 0,8% dari 2022 yakni sebesar 12,3%.

Dengan masih rendahnya realisasi pembangunan pembangkit listrik di Tanah Air, bahkan sejak 2011 lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun telah mewanti-wanti status siaga dan defisit dalam sistem kelistrikan nasional.

Berdasarkan perhitungan terhadap daya mampu netto (DMN) berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021—2030 per Agustus 2022 menunjukkan bahwa dari 12 sistem kelistrikan yang tersebar di Indonesia, hanya sistem Jawa Bali yang memiliki cadangan di atas standar antara 35%—52%. 

Sementara itu, sistem lainnya dalam kondisi siaga dan berpotensi defisit apabila proyek penambahan pembangkit RUPTL terus menerus mengalami keterlambatan beroperasi secara komersial (commercial operation date/COD).

Perhitungan dengan menggunakan daya mampu pasok (DMP) bahkan menunjukkan mayoritas sistem tenaga listrik berada dalam kondisi siaga dan defisit. Data menunjukkan bahwa sistem Jawa Bali diprediksi akan mengalami kondisi siaga mulai 2028.

5. Mengobati Bengkak Defisit Neraca Dagang Alkes

Meski serangan pandemi Covid-19 telah berhenti, bengkak defisit neraca dagang alat kesehatan belum juga terobati. Pemerintah berjanji terus memacu industri alkes dalam negeri agar unggul di pasar ekspor.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor produk alat kesehatan (alkes) sepanjang 2023 sekitar US$206,75 juta, sedangkan impornya mencapai US$687,36 juta. Alhasil, defisit dagang barang berkode HS 9018 itu bengkak US$480,62 juta.

Dibandingkan performa tahun sebelumnya, defisit neraca dagang alkes memang sedikit susut, yakni 2%. Hal tersebut lantaran impor alat kesehatan mengalami penurunan. Sayangnya, performa ekspor juga turun.

Lebih dari itu, defisit neraca dagang barang alkes telah mengalami pembengkakan serius sejak 10 tahun terakhir. Pada 2013, defisit neraca dagang alkes hanya US$161,02 juta, dengan angka ekspor US$143,58 juta, dan US$304,60 juta.

Defisit paling parah terjadi pada 2020. Pada tahun pertama Indonesia dilanda pandemi Covid-19, defisit neraca dagang alkes mencapai US$531,37 juta, dengan angka impor mencapai US$702,70 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Yanita Petriella
Sumber : bisnisindonesia.id
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper