Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

HGBT Belum Optimal, Industri Minta Transparansi Pasokan Gas PGN

Pengguna gas bumi menyebut, implementasi harga gas bumi tertentu (HGBT) belum berjalan sesuai dengan Kepmen No. 91/2023.
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN
Petugas mengawasi pipa gas PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN). Istimewa/PGN

Bisnis.com, JAKARTA - Kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) belum sepenuhnya memberikan manfaat kepada pelaku industri pengolahan. Implementasi harga gas murah tersebut disebut tidak diimbangi dengan kelancaran pasokan. 

Aturan terkait penggunaan HGBT di bidang industri tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 91/2023. Regulasi tersebut mengubah harga jual gas murah itu menjadi US$6,5 - US$7 per MMBtu per Mei 2023. 

Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, implementasi HGBT belum berjalan sesuai dengan Kepmen No. 91/2023 tersebut. Hal ini dibuktikan dengan ketidaksinkronan alokasi gas industri tertentu (AGIT). 

"Implementasi HBGT belum berjalan sesuai Kepmen ESDM No. 91/2023. AGIT dari PGN [PT Perusahaan Gas Negara Tbk. atau PGN] masih lebih kecil daripada AGIT Kepmen," kata Yustinus kepada Bisnis, Senin (20/11/2023). 

Untuk itu, dia meminta transparansi kesesuaian pemenuhan AGIT berdasarkan Kepmen ESDM, termasuk transparansi pasokan gas oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Industri menilai alokasi gas baru oleh Kementerian ESDM masih lambat dan gangguan kelancaran pasokan gas oleh PGN. 

Sebab, KKKS memiliki  kewajiban untuk menyesuaikan dengan Kepmen. Apalagi, pemerintah telah menyediakan anggaran untuk volume AGIT di Kepmen tersebut. 

Di sisi lain, Yustinus menyebutkan, saat ini utilitas industri kaca stagnan sejak AGIT dari PGN lebih kecil dari alokasi Kepmen. Dari segi kapasitas produksi kaca, utilitas di kisaran 93% untuk Jawa Barat, di mana AGIT mencapai 80%, sedangkan AGIT bagian Timur Jawa 67% per Oktober. 

Sebelumnya, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif menyampaikan, kebijakan HGBT yang tidak berjalan baik berdampak kurang optimalnya industri manufaktur. Sebab, beberapa industri membeli harga di atas US$6/MMBtu sehingga menurunkan daya saing produk mereka.

"Apalagi pemerintah fokus untuk terus meningkatkan investasi dan kinerja sektor industri manufaktur karena menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional," tuturnya.

Febri mencatat beberapa kendala terhadap penerapan HGBT, antara lain adalah sektor industri mengalami pembatasan pasokan gas bumi dibawah volume kontrak. Misalnya, di Jawa Timur terjadi pembatasan kuota antara 27-80% kontrak dan pengenaan surcharge harian untuk kelebihan pemakaian dari kuota yang ditetapkan di hampir seluruh perusahaan.

Selanjutnya, masih ada industri penerima HGBT yang mendapatkan harga di atas US$6 per MMBtu. Bahkan, ada sektor industri pengguna yang belum menerima HGBT. Padahal, sektor industri tersebut sudah direkomendasikan oleh menteri perindustrian mulai periode April 2021 – Agustus 2022. 

"Kami mendorong agar kebijakan HGBT bagi sektor manufaktur dapat dijalankan dengan menegakkan aturan-aturannya," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper