Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Produksi Sawit RI Stagnan, Gapki Blak-blakan Ungkap Biang Keroknya

Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia justru mengalami stagnasi dalam hal produksi.
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, BADUNG - Poduksi minyak kelapa sawit Indonesia yang cenderung stagnan berisiko terhadap stok dan kinerja perdagangan komoditas strategis di masa mendatang. 

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengatakan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia justru mengalami stagnasi dalam hal produksi.

Data yang dihimpun Gapki dalam 5 tahun terakhir sejak 2018 mencatat rata-rata produksi minyak sawit termasuk di dalamnya CPO dan CPKO di kisaran 50,6 juta ton per tahun.

"Stagnasi produksi dalam beberapa tahun terakhir akibat lambatnya kemajuan dalam penanaman kembali [replanting] oleh petani kecil," kata Eddy saat membuka Indonesia Palm Oil Conference di Badung Bali, Kamis (2/11/2023).

Adapun, data Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mencatat total replanting dalam program peremajaan sawit rakyat (PSR) baru mencapai 306.000 hektare secara kumulatif sejak 2016. Artinya, bila dirata-rata penambahan realisasi PSR hanya sekitar 38.250 hektare per tahun.

Direktur Utama BPDPKS, Eddy Abdurrachman, menyebut untuk PSR tahun ini diperkirakan mencapai 45.000 hektare. Sedangkan target internal mereka untuk PSR tahun depan sekitar 50.000 - 70.000 hektare.

Eddy menjelaskan, lambatnya replanting sawit petani disebabkan program PSR yang bersifat sukarela. Artinya petani tidak bisa dipaksa untuk meregenerasi tanaman sawitnya.

"Replanting itu sifatnya voluntary artinya bahwa itu semuanya usulan dari para petani. Jadi bukan mandatory," ujar Eddy kepada Bisnis di Badung, Bali, Kamis (2/11/2023).

Sejumlah faktor lain juga menjadi hambatan para petani mengakses program tersebut. Eddy menyebut bahwa persoalan status kawasan hutan dan tumpang tindih lahan sawit petani di kawasan HGU (hak guna usaha) menjadi hambatan yang ditemui di lapangan. Padahal, surat pernyataan status lahan sawit petani bebas dari kawasan hutan dan HGU menjadi syarat utama program PSR.

"Kabanyakan kebun petani sawit rakyat ada di daerah itu [kawasan hutan dan HGU] kecuali pemerintah mau memutihkan," tuturnya.

Selain itu, hambatan lainnya terjadi pada petani yang menggantungkan pendapatannya hanya kepada satu-satunya kebun sawit miliknya. Peremajaan sawit membuat petani harus menunggu sampai tanaman memasuki masa panen di tahun ke-4.

Menurutnya, program PSR banyak diminati petani sawit rakyat. Hal itu berdasarkan pengajuan PSR dari petani saat ini mencapai 150.000 hektare. Eddy menuturkan, selama ini pemerintah terus berkoordinasi untuk melakukan simplifikasi aturan agar mempermudah petani mengakses program PSR. 

"Tapi kenyataannya pelaksanaan tidak segampang itu," ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dwi Rachmawati
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper