Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Industri Penerbangan RI Belum Pulih Usai Pandemi, Ini Buktinya

Upaya peningkatan jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia pascapandemi Covid-19 masih menghadapi sejumlah tantangan.
Kesibukan penerbangan pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (28/11/2022). Bisnis/Paulus Tandi Bone
Kesibukan penerbangan pesawat di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (28/11/2022). Bisnis/Paulus Tandi Bone

Bisnis.com, JAKARTA – Upaya peningkatan jumlah pesawat yang beroperasi di Indonesia pascapandemi Covid-19 masih menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari kelangkaan suku cadang hingga tren pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pemerhati penerbangan sekaligus Ketua Umum Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI), Alvin Lie, mengatakan, sektor transportasi udara Indonesia sempat terpuruk selama sekitar 3 tahun akibat pandemi Covid-19.

Namun, dia menyebut maskapai penerbangan di Indonesia mampu bertahan di tengah banyaknya perusahaan penerbangan di luar negeri yang tutup atau kolaps selama pandemi.

Alvin menyebut, saat ini industri penerbangan Indonesia perlahan mulai bangkit dari imbas pandemi Covid-19. Hal tersebut terindikasi dari meningkatnya jumlah pesawat terbang yang dioperasikan maskapai-maskapai di Indonesia pada periode 2022 hingga akhir 2023.

Dia menuturkan, saat ini jumlah pesawat di Indonesia yang layak dioperasikan atau serviceable ada sebanyak 419 unit. Catatan ini meningkat dibandingkan dengan jumlah pesawat pada 2022 lalu sebanyak 350 unit.

“Tetapi, angka ini masih berada di bawah saat sebelum pandemi yaitu sebanyak 600 unit yang serviceable,” kata Alvin di Jakarta pada Jumat (27/10/2023).

Alvin mengatakan, sejumlah hal berpotensi menghambat tren peningkatan jumlah pesawat yang layak beroperasi di Indonesia. Pertama, adalah kelangkaan suku cadang (sparepart) seiring dengan tren pemulihan penerbangan secara global.

Dia menjelaskan, maskapai di seluruh dunia mulai mengaktifkan kembali pesawat-pesawat yang sebelumnya tidak beroperasi selama pandemi. Hal ini memicu terjadinya lonjakan permintaan terhadap suku cadang untuk pesawat.

Hal tersebut pun berimbas pada antrean perbaikan pesawat pada fasilitas-fasilitas Maintenance, Repair, and Overhaul (MRO) yang ada. Alvin menuturkan, terbatasnya jumlah fasilitas MRO membuat maskapai pun harus menunggu giliran untuk memperbaiki atau melakukan perawatan pada armadanya.

Selanjutnya, maskapai juga menghadapi masalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Alvin menuturkan, tren pelemahan nilai tukar ini akan berimbas pada naiknya biaya operasional maskapai-maskapai.

Dia memerincikan tiga unsur utama dalam biaya operasional maskapai adalah bahan bakar atau avtur dengan porsi terbesar sebanyak 36%.  

Selanjutnya, biaya pemeliharaan (maintenance) mencakup sekitar 16% dan biaya sewa pesawat atau penyusutannya sebesar 14%. Ketiga unsur ini mencakup sekitar 66% dari total biaya operasional maskapai.

"Ketiga aspek ini tidak terlepas dari nilai tukar karena pembayaran untuk suku cadang atau bahan bakar pasti menggunakan valuta asing. Ketika rupiah melemah, ini menjadi beban yang cukup serius bagi maskapai penerbangan," ujar Alvin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper