Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Argo Utang Kereta Cepat Mulai Berjalan, Ini Saran MTI untuk KCIC

Utang Pemerintah Indonesia kepada China atas proyek kereta cepat Rp79 triliun mulai berjalan seiring dengan beroperasinya transportasi massal tersebut.
Rangkaian Electric Multiple Unit (EMU) Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) saat berada di Stasiun KCJB Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (13/9/2023). Bisnis/Rachman
Rangkaian Electric Multiple Unit (EMU) Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) saat berada di Stasiun KCJB Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (13/9/2023). Bisnis/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA – Dukungan dari induk usaha dan pemerintah dinilai vital pada tahap awal operasi Kereta Cepat WHOOSH Indonesia untuk memastikan keberlanjutan dan kemampuan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai operator dalam melakukan pembayaran utang proyek ini

Ketua Forum Transportasi Perkeretaapian dan Angkutan Antarkota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Aditya Dwi Laksana, mengatakan PT Kereta Cepat Indonesia China selaku operator kereta cepat WHOOSH dipastikan belum akan memiliki kemampuan finansial yang optimal untuk membayar utang pinjaman proyek ini.

Aditya menjelaskan, kereta cepat yang baru dioperasikan belum dapat mengumpulkan pendapatan secara optimal. Hal ini karena basis penumpang atau captive market dari moda transportasi ini yang belum terbentuk dan juga adanya beragam program promosi seperti penggratisan tarif.

“Mau tidak mau, di tahap awal ini KCIC akan bergantung ke induk perusahaannya, yaitu PT KAI. Sehingga kesehatan keuangan KAI perlu diperhatikan agar dapat memenuhi pembayaran pinjaman utang dan menutupi biaya operasional,” kata Aditya saat dihubungi, Senin (2/10/2023).

Aditya melanjutkan, KCIC juga belum dapat langsung mengembangkan ridership atau volume penumpang dalam jumlah besar dan waktu yang singkat. Oleh karena itu, dia menilai KCIC sebaiknya fokus pada peningkatan aksesibilitas dan konektivitas antarmoda pada kereta cepat selama tahap awal operasinya.

Dia menuturkan, konektivitas antarmoda dan aksesibilitas yang optimal akan berdampak positif pada perkembangan jumlah pelanggan dalam jangka panjang.

Selain itu, dia mengatakan KCIC sebagai operator kereta cepat wajib membuat kebijakan tarif (pricing) yang kompetitif dengan moda lain. Hal ini agar kereta cepat mampu bersaing di tengah banyaknya pilihan moda lain seperti mobil travel, KA Argo Parahyangan, dan lainnya.

Di sisi lain, dia mengatakan pemerintah juga wajib memberikan dukungan penuh kepada KCIC pada masa awal operasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah mempermudah melakukan pengadaan dan perizinan lahan untuk KCIC. 

Lahan tersebut kemudian dapat digunakan KCIC untuk mengembangkan sektor pendapatan nontiket atau nonfare box mulai dari pembangunan area komersial, area transit oriented development (TOD), hunian atau properti, dan lain-lain. 

Aditya menambahkan, segmen ini sudah dapat menghasilkan pendapatan di tahap awal operasi kereta cepat. Hal ini karena adanya sejumlah prasarana yang dapat dijual oleh operator, contohnya sewa area komersial mulai dari pembangunan dan sewa area komersial, periklanan, hak penamaan (naming rights) dan lainnya.

“Sehingga kereta cepat setidaknya memiliki dana operasional biarpun basis pelanggannya belum terbentuk di tahap awal,” ujarnya.

Sebelumnya, Kereta Cepat telah diresmikan pada hari ini di Stasiun Halim oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sejalan dengan hal tersebut, utang Pemerintah Indonesia kepada China atas megaproyek senilai Rp79 triliun ini mulai berjalan.

Berdasarkan catatan Bisnis, Jumat (15/9/2023), megaproyek transportasi tersebut awalnya direncanakan menelan biaya sebesar US$6,07 miliar atau sekitar Rp94,1 triliun (kurs Rp15.514). Adapun, Indonesia mendapatkan pinjaman dari China Development Bank (CBD) untuk proyek tersebut sekitar 75 persen atau sekitar Rp70,5 triliun. 

Kendati demikian, dalam perjalanannya proyek ambisius tersebut ternyata mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18,6 triliun. 

Beban cost overrun itu dibagi dua antara China dan Indonesia. Adapun, pihak Indonesia harus membayar sekitar US$720 juta atau setara dengan Rp11,1 triliun.

Lagi-lagi pihak CBD memberikan pinjaman dana bagi Indonesia untuk membayar cost overrun tersebut sebesar US$550 juta atau sekitar Rp8,5 triliun dengan bunga 3,4 persen dan tenor 30 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper