Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kebut Transisi Energi, IESR: Porsi Hibah JETP untuk RI Perlu Diperbesar

Porsi hibah dan bantuan teknis dari pendanaan transisi energi JETP untuk Indonesia dinilai perlu ditingkatkan hingga 10-15 persen.
Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap tertutup kabut di Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sindereng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (15/1)./JIBI-Abdullah Azzam
Turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap tertutup kabut di Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sindereng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (15/1)./JIBI-Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) menyesalkan alokasi hibah (grant) dan bantuan teknis (technical assitant) yang diterima Indonesia dari kemitraan Just Energy Transition Partnership atau JETP masing-masing hanya sekitar US$160 juta setara dengan Rp2,39 triliun (asumsi kurs Rp14.987 per dolar AS).

Secara keseluruhan dana yang sebagian besar diperuntukkan untuk persiapan proyek itu hanya mencapai sekitar US$320 juta setara dengan Rp4,79 triliun atau tidak lebih dari 1,59 persen dari keseluruhan komitmen pendanaan JETP yang disanggupi sebesar US$20 miliar atau setara dengan Rp299,74 triliun.

Direktur IESR Fabby Tumiwa mengatakan, dana hibah dan bantuan teknis yang terbilang kecil itu bakal menyulitkan upaya pemerintah untuk menyiapkan sejumlah rencana pengembangan proyek yang potensial didanai lewat kemitraan JETP.

Di sisi lain, dana yang seharusnya dialokasikan untuk penyiapan proyek itu justru dapat membebani keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN lantaran mesti menanggung ongkos penyiapan proyek potensial untuk dikerjakan dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP.

“Ini harus lelang proyek-proyek 4.000 sampai 5.000 megawatt [MW] per tahun mana proyeknya? Apa yang mau dilelang kalau tidak dibuat studi, masa PLN disuruh investasi lagi, dia kan harus sediain capex untuk bangun-bangun proyek baru,” kata Fabby saat ditemui di Jakarta, Selasa (27/6/2023).

Menurut Fabby, persentase hibah dan bantuan teknis mesti mengambil porsi minimal 10 persen hingga 15 persen dari keseluruhan komitmen pendanaan transisi yang disampaikan JETP. Porsi minimal itu diharapkan dapat mempercepat studi pengembangan proyek untuk dapat segera dibangun pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.

Berdasarkan studi IESR, PLN mesti membangun kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) mencapai 45 gigawatt (GW) hingga 2030 agar sesuai dengan Kesepakatan Paris. Sementara itu, PLN telah mengakomodasi kapasitas pembangkit EBT sebesar 20,9 GW pada RUPTL 2021-2030.

“Kalau mau membangun pembangkit tidak ujuk-ujuk dibangun harus diidentifikasi sumber dayanya, mengembangkan proyeknya, feasibility study sampai dapat pendanaan dan masuk di RUPTL, untuk menyiapkan itu semua butuh hibah,” kata dia.

Seperti diberitakan sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengonfirmasi besaran porsi hibah  dan bantuan teknis yang dialokasikan dari komitmen kemitraan JETP masing-masing sekitar US$160 juta.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan, pemerintah masih bernegosiasi untuk mengamankan porsi pendanaan murah transisi energi dari pakta iklim Amerika Serikat dan Jepang bersama rekanan lainnya tersebut.  

“Kalau hibah di angka US$160 juta, technical assitant kisarannya sekitar itu juga, nanti ada yang pasti US$10 miliar pinjaman komersial, rate-nya [bunga] belum tahu sampai sekarang,” kata Dadan saat ditemui di Jakarta, Selasa (276/20230).

Seperti diketahui, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP itu sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar setara dengan Rp299,74 triliun dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk pemerintah Indonesia.

Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.  

Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.  

“Sebagian hibah itu masuknya di dalam pengerjaan feasibility study, itu masuknya begitu, kan angkanya US$150-an juta, nggak bakalan cukup untuk danai proyek,” kata Dadan.

Di sisi lain, Dadan mengatakan, pemerintah telah menyampaikan lima prioritas program yang potensial untuk didanai JETP, di antaranya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT), peningkatan efisiensi, rasio elektrifikasi, serta infrastruktur transmisi.  

“Kita berjuang angka US$20 miliar aman secara komitmen, tapi kan implementasinya harus berjuang meyakinkan karena ini pada dasarnya komersial,” kata dia.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper