Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance atau Indef memperkirakan pengenaan pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN barang kebutuhan pokok hanya akan menyumbangkan sekitar Rp21,1 triliun atau 1,97 persen dari total penerimaan pajak tahun lalu. Nilai itu kecil jika dibandingkan dengan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef Rusli Abdullah menjelaskan bahwa pihaknya melakukan perhitungan potensi penerimaan PPN dari barang kebutuhan pokok dengan menggunakan data pengeluaran per kapita masyarakat.
Indef menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020. Dilihat dari sisi komoditas dan daerah tempat tinggal, delapan kelompok barang yang didata Susenas masuk ke dalam 11 jenis barang kebutuhan pokok yang akan dikenakan PPN oleh RUU KUP.
Kedelapan kelompok barang tersebut adalah padi-padian, umbi-umbian, ikan/udang/cumi/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, serta buah-buahan.
Dari kedelapan kelompok barang tersebut diperoleh nilai rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp268.184 atau per tahunnya sekitar Rp3,2 juta. Jika jumlah itu dikalikan dengan jumlah keluarga di Indonesia berdasarkan asumsi 2019, maka total pengeluaran untuk kebutuhan pokok mencapai Rp211,07 triliun per tahun dan potensi PPN adalah 10 persen dari jumlah tersebut.
"Kalau dikenakan PPN minimum 5 persen, maksimum 12 persen, akan berbeda hasilnya. Namun, kalau gampang pakai 10 persen, maka dengan asumsi data 2020 potensi PPN barang kebutuhan pokok adalah Rp21,1 triliun," ujar Rusli dalam diskusi bertajuk Penerimaan Cekak, Sembako Kena Pajak? yang berlangsung pada Selasa (14/9/2021).
Baca Juga
Hasil perhitungan 2020 itu naik dibandingkan dengan asumsi 2019 sebesar Rp16,85 triliun atau terdapat kenaikan potensi PPN sekitar Rp4,2 triliun dalam satu tahun.
Meskipun terdapat kenaikan, Indef menilai bahwa pengenaan PPN terhadap barang kebutuhan pokok merupakan kebijakan yang kurang tepat.
Rusli menjelaskan bahwa berdasarkan perhitungannya itu, PPN kebutuhan pokok hanya menyumbang 1,28 persen dari total penerimaan pajak 2019 atau 1,97 persen dari total penerimaan pajak 2020. Menurutnya, kontribusi itu terlampau kecil jika dibandingkan dengan pendapatan dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
"Angka ini seandainya mau dinaikkan untuk kontribusi tax ratio kecil banget, dibandingkan dengan yang bersumber dari PPh Badan. Cuma Rp21,1 triliun dan ini banyak sekali tantangannya," ujarnya.
Menurut Rusli, narasi penerapan PPN kebutuhan pokok di tengah pandemi Covid-19 kurang tepat. Secara psikologis, kebijakan itu akan menjadikan masyarakat tertekan, dan dikhawatirkan dapat menimbulkan inflasi yang terekspektasi di masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel