Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

JKN BPJS Kesehatan: IDI Nilai Skema SCF Belum Efektif

Pemerintah didesak untuk mempertimbangkan kembali regulasi yang mengatur BPJS Kesehatan sebagai pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Menteri Kesehatan Terawan dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris melakukan wawancara usai rapat tertutup di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta pada Jumat (25/10/2019)./Dok. BPJS Kesehatan
Menteri Kesehatan Terawan dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris melakukan wawancara usai rapat tertutup di Kantor Pusat BPJS Kesehatan, Jakarta pada Jumat (25/10/2019)./Dok. BPJS Kesehatan

Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah didesak untuk mempertimbangkan kembali regulasi yang mengatur BPJS Kesehatan sebagai pelaksana program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Daeng M. Faqih menyebut BPJS Kesehatan seharusnya diperbolehkan untuk mengajukan pinjaman perbankan untuk membayar tunggakan klaim rumah sakit mitranya, alih-alih menawarkan program Supply Chain Financing (SCF).

Menurut Daeng banyak rumah sakit yang saat ini terancam lantaran tak bisa mengakses program SCF lantaran tak memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak perbankan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan untuk program tersebut

“PB IDI meminta pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan BPJS Kesehatan mengajukan pinjaman perbankan. Jika hal tersebut terwujud, maka BPJS Kesehatan bisa segera membayar [tunggakan klaim rumah sakit mitra]. Karena sekarang ini dengan regulasi yang ada tidak memungkinkan BPJS mengajukan pinjaman perbankan sehingga yang diminta mengajukan pinjaman perbankan ini rumah sakit secara teknis susah karena harus menghitung berapa asetnya, pendapatan, kemampuan membayarnya berapa lama,” katanya kepada Bisnis.com, belum lama ini.

Adapun, apabila hal tersebut tidak memungkinkan PB IDI mendesak agar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sesegera mungkin mengeluarkan dana untuk mengatasi permasalahan yang muncul akibat defisit keuangan BPJS Kesehatan, khususnya tunggakan klaim rumah sakit mitra.

“Karena jika tidak segera dikeluarkan dikhawatirkan rumah sakit mitra ini akan kolaps, kalau kolaps tentunya pelayanan juga terganggu dan yang dirugikan pastinya masyarakat. Kita mengadvokasi pemerintah yang dalam hal ini adalah Kemenkeu untuk segera mengeluarkan dana untuk mengatasi masalah defisit keuangan BPJS Kesehatan,” tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Kuntjoro Adi Purwanto melaporkan bahwa tagihan klaim yang belum dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit mitranya yang sebagian besar adalah anggota Persi per 14 Juli 2019 mencapai Rp6,5 triliun.

Adapun, saat ini tercatat jumlah rumah sakit yang menjadi anggota Persi sebanyak 2.251 baik rumah sakit swasta maupun rumah sakit milik pemerintah.

Senada dengan Daeng, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai sudah seharusnya BPJS Kesehatan tidak hanya mengandalkan program SCF sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan keuangan rumah sakit akibat terlambatnya pembayaran klaim.

Menurutnya, program SCF yang tidak lain adalah pinjaman lunak dari pihak perbankan pada pelaksanaannya justru tidak mudah diakses lantaran sejumlah persyaratan yang dinilai memberatkan sebagian rumah sakit mitra BPJS Kesehatan.

Dengan demikian, Timboel mendesak agar pemerintah mempertimbangkan kembali sejumlah regulasi yang secara khusus mengatur BPJS Kesehatan sebagai pelaksana program JKN-KIS.

Dia menilai regulasi-regulasi tersebut justru mengekang BPJS Kesehatan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang muncul akibat defisit keuangan, khususnya pembayaran klaim rumah sakit mitra.

“Harus dilakukan terobosan, misalnya di Peraturan Pemerintah (PP) No. 87/2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan yang tidak memungkinkan BPJS Kesehatan melakukan transaksi derivatif salah satunya adalah mengajukan pinjaman ke bank. BPJS Kesehatan ini dikerangkeng, seharusnya dalam kondisi tertentu seperti defisit keuangan ini boleh melakukan transaksi derivatif. Ini lebih efisien karena satu pintu dan BPJS Kesehatan tidak perlu membayar denda 1% dari total tunggakan kepada masing-masing rumah sakit mitranya,” jelasnya kepada Bisnis.com, Senin (28/10/2019).

Dia mengatakan apabila BPJS Kesehatan tetap tidak diperbolehkan mengajukan pinjaman perbankan, sudah sepatutnya rumah sakit mitra diberikan kemudahan untuk mengakses program SCF.

Untuk itu, dia mendesak agar Kemenkeu dan Kemenkes bersama dengan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pendekatan kepada pihak perbankan untuk memberikan kelonggaran persyaratan terhadap rumah sakit mitra BPJS Kesehatan yang mengalami kesulitan operasional lantaran klaimnya tak kunjung dibayar.

“Harus ada perlakuan khusus untuk persyaratan dari perbankan. Karena ini bukan seperti pinjaman yang diberikan kepada perusahaan untuk sektor produktif, ini adalah sektor sosial, jadi tolong dibedakan. Uang yang dipinjamkan ke rumah sakit itu digunakan untuk menjalankan operasional yang tak lain melayani masyarakat. Untuk membayar tenaga kesehatan, membeli obat-obatan, juga membeli alat kesehatan,” tegasnya.

Adapun terkait dengan tunggakan klaim yang belum dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit mitranya, BPJS Watch mencatat pada 30 Agustus 2019 tunggakan tersebut mencapai Rp13 triliun. Sebelumnya, pada 30 Juni 2019 tercatat tunggakan tersebut hanya sebesar Rp9,23 triliun.

“Untuk data terbaru kami belum ada, tapi kemungkinan tunggakan klaim itu bertambah sampai dengan Rp18triliun kalau melihat trennya yang bertambah Rp2 triliun setiap bulannya ya,” ungkap Timboel.

Sementara itu, Kemenkeu sebagai kementerian yang bertanggung jawab atas permasalahan defisit keuangan BPJS Kesehatan enggan memberikan tanggapan terkait dengan usulan PB IDI.

“Kemenkeu tidak berkomentar tentang hal tersebut (usulan PB IDI). Pertanyaan dan pernyataan tentang hal tersebut (usulan PB IDI) dapat diajukan langsung ke BPJS Kesehatan,” katanya Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Nufransa Wira Sakti kepada Bisnis, Senin (28/10).

Terkait dengan upaya penyelesaian masalah defisit BPJS Kesehatan, tahun ini Kemenkeu telah menganggarkan dana sebesar Rp8-10 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana tersebut masih bisa bertambah sampai dengan Rp3 triliun yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (CHT).

Adapun pada 2018 Kemenkeu menganggarkan dana sebesar Rp10,3 dari APBN untuk menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan yang berdasarkan audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Kepala Hubungan Masyarakat (Humas) BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan bahwa usulan dari PB IDI perlu didiskusikan lebih lanjut oleh seluruh pihak terkait, khususnya pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mengubah regulasi terkait pelaksanaan JKN-KIS yang menjadi tanggung jawab BPJS Kesehatan. Dia menyebut BPJS Kesehatan terbuka dengan segala usulan untuk mengatasi permasalahan defisit yang kian kompleks.

“Kami terbuka kepada setiap usulan. Kalau kami ini kan sebenarnya adalah pelaksana program pemerintah, jadi kami berusaha mengikuti saja aturan yang berlaku. Apa yang disampaikan oleh PB IDI itu sah-sah saja sebagai upaya untuk mencari solusi,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (28/10/2019).

Lanjut Iqbal, pihaknya tak bisa memberikan penilaian terkait layak atau tidaknya usulan dari PB IDI sebagai solusi cepat menyelesaikan masalah tunggakan klaim yang belum dibayarkan kepada rumah sakit yang menjadi fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKTRL) untuk program JKN-KIS.

Namun yang jelas, dia menginginkan agar setiap usulan yang diberikan tak akan menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.

“Kami tidak bisa menilai, semua kembali ke pemerintah. Kami inginnya seperti tujuan [program] JKN-KIS saja, mengatasi masalah tanpa masalah,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rezha Hadyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper