Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Optimisme Berinvestasi di Indonesia Masih Tinggi

William Henley Founder IndoSterling Group menyatakan tahun 2019 diwarnai dengan sikap wait and see dari para investor.
Lembaran mata uang rupiah dan dolar AS diperlihatkan di salah satu jasa penukaran valuta asing di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Lembaran mata uang rupiah dan dolar AS diperlihatkan di salah satu jasa penukaran valuta asing di Jakarta, Senin (2/7/2018)./ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA - William Henley Founder IndoSterling Group menyatakan tahun 2019 diwarnai dengan sikap wait and see dari para investor.

Menurutnya, ada beragam faktor eksternal dan internal yang memicu sikap wait and see para investor. 

Pertama, ketidakpastian kebijakan The Fed.  Bank Sentral Amerika Serikat itu, diyakini akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua kali di 2019. Namun dinamika belakangan membuat pasar menunggu-nunggu langkah The Fed selanjutnya. The Fed dapat bersikap Hawkish atau bahkan Dovish melihat sinyal-sinyal terbaru dari perekonomian global. Semua masih belum pasti. 

Kedua, perlambatan dan transisi ekonomi China.  Perang dagang dan perlambatan ekonomi dunia, telah menekan aktivitas perdagangan negeri Tirai Bambu. Produksi industri juga setali tiga uang sejalan dengan kontraksi di sektor manufaktur.

Di sisi lain, perekonomian China dalam masa transisi dari ekonomi yang bergantung pada investasi ke konsumsi domestik. Muaranya adalah pertumbuhan ekonomi China terus mengalami perlambatan selama 10 tahun terakhir. 

Faktor eksternal lain yang mendorong investor bersikap wait and see adalah potensi resesi di negeri Paman Sam, kans resesi di Euro Zone, perang dagang Amerika Serikat dan China, dan harga komoditas seperti minyak bumi, batu bara, dan CPO yang masih cenderung datar. 

Dari sisi internal, ada dua faktor utama yang paling diperhatikan investor. Pertama, defisit neraca transaksi berjalan. Sepanjang tahun lalu, mencapai  31,1 miliar dolar AS (2,98% terhadap PDB) atau lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Untuk tahun ini, Bank Indonesia memproyeksikan CAD akan berada pada level 2,5% terhadap PDB. CAD merupakan indikator utama perekonomian suatu negara yang selalu menjadi acuan investor sebelum berinvestasi. Oleh karena itu, perbaikan CAD yang dilakukan pemerintah akan diapresiasi investor. 

Kedua, Pemilihan Umum 2019. Seperti diketahui Pemilihan Umum tahun ini menggabungkan pemilihan anggota legislatif dan presiden-wakil presiden 2019-2024. Namun demikian, fokus utama adalah pilpres yang diikuti oleh 2 pasang calon, yaitu calon petahana Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. 

Sebagaimana pemilu sebelumnya, investor menunggu-nunggu siapa yang akan terpilih sebagai pemenang. Karena keberlanjutan kebijakan dan arah pembangunan akan menentukan perekonomian kedepan. Apabila petahana yang terpilih, maka tidak akan ada perubahan drastis. Sebaliknya apabila yang terpilih adalah oposisi, maka dikhawatirkan akan ada perubahan kebijakan secara drastis. 

Selain CAD dan Pemilu, faktor internal lain yang jadi perhatian memiliki kaitan erat dengan faktor eksternal. Seperti inflasi, nilai tukar rupiah, dan harga komoditas ekspor. 

Apabila melihat faktor-faktor internal dan eksternal di atas, maka tak heran apabila sikap wait and see dikedepankan. Namun, bukan berarti sikap optimis itu kemudian pudar. Ada beberapa penjelasan logis terkait hal tersebut.

Dari sisi eksternal, negosiasi dagang antara AS dan China kemungkinan besar akan mencapai titik temu. Hal itu akan berujung kepada sejumlah hal. Mulai dari berakhirnya perlambatan ekonomi China, kejelasan sikap The Fed, hingga perbaikan harga komoditas global. 

Faktor-faktor eksternal itu, akan menular dan memengaruhi faktor internal di tanah air. Sebagai contoh, dari sisi aliran modal asing ke dalam negeri. Berdasarkan data Bank Indonesia, tercatat aliran dana yang masuk adalah sebesar 45,9 Triliun hingga Februari 2019. Akibatnya, nilai tukar rupiah mengalami penguatan dan berada pada kisaran Rp 13.900 sampai Rp 14.100 per dolar AS. 

Dia menjelaskan penguatan rupiah bakal berpengaruh pada banyak hal. Misalnya, terhadap salah satu komponen CAD, yaitu neraca perdagangan. Penguatan rupiah juga berdampak kepada berkurangnya potensi inflasi dari sisi barang impor (imported inflation). Intinya, CAD akan membaik, defisit anggaran pun demikian, serta inflasi akan terjaga. 

Kemudian, dari sisi politik, penyelenggaraan Pemilu 2019, diyakini akan berjalan baik. Sebab, Indonesia telah berpengalaman menggelar Pemilu sejak era kemerdekaan hingga 2014 lalu. Perihal pemenang pilpres, apakah itu Jokowi atau Prabowo, tentu sudah diantisipasi oleh investor. Kalaupun ada perubahan kebijakan, dipastikan tidak akan masif karena pemerintah memiliki pedoman dalam wujud rencana pembangunan jangka panjang (RPJP).

Dia juga menyampaikan agar investor tak perlu ragu dalam berinvestasi di Indonesia. Sebab, beragam faktor eksternal dan internal yang akan membaik bakal berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper