Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ahli Perencanaan Nilai Kritik Ridwan Kamil Soal LRT Palembang Sudah Relevan

Kapasitas Ridwan Kamil sebagai dosen dan ahli urban planning dan manajemen infrastruktur sudah tepat menggambarkan tidak mudahnya membangun transportasi modern.
Rangkaian Light Rail Transit (LRT) melintas di kawasan Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/3/2021). ANTARA FOTO/Nova Wahyudirn
Rangkaian Light Rail Transit (LRT) melintas di kawasan Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (30/3/2021). ANTARA FOTO/Nova Wahyudirn

Bisnis.com, BANDUNG — Telaahan Ridwan Kamil soal Light Rail Transit (LRT) Palembang yang dinilai sepi penumpang kala membahas usulan pembangunan MRT di dalam diskusi Synergy Ngopi dengan Jababeka di President University, Cikarang, Jawa Barat, pada Jumat (21/10/2022) menuai kecaman.

Padahal, argumentasi Ridwan Kamil di dalam diskusi tersebut dinilai relevan.

Ketua Majelis Etik Ikatan Ahli Perencanaan Kota (IAP) Indonesia Bernadus Djonoputro mengatakan kapasitas Ridwan Kamil sebagai dosen dan ahli urban planning dan manajemen infrastruktur sudah tepat menggambarkan tidak mudahnya membangun sistem transportasi modern seperti Mass Rapid Transit (MRT).

“Saya kira yang disampaikan sangat relevan. Bahwa secara teoritis apa yang disampaikan berkaitan antara hubungan transportasi dengan perkembangan kota,” katanya saat dihubungi, Selasa (25/10/2022).

Namun menurutnya pembahasan perencaan terkait sistem transportasi urban modern seperti LRT dan MRT tidak begitu dipahami oleh awam mengingat penyiapan dan pembiayaan infrastruktur ini terbilang berat dan mahal.

Apa yang disampaikan Ridwan Kamil soal transportasi berkolerasi dengan perkembangan perkotaan erat kaitannya dengan keahlian pemimpin daerah atau nasional mencari titik keseimbangan, bagaimana kiat membangun dan bagaimana caranya menjalankan. “Ini tidak banyak dimengerti oleh awam, secara teknis itu njlimet. Memang agak sulit membahasakan perencanaan ini ke awam,” ujarnya.

Dalam telaahannya Ridwan Kamil menilai LRT Palembang yang dibangun untuk menyambut Asian Games 2018 lebih kental keputusan politik dibanding berlandaskan perencanaan, dalam pandangan Bernie—panggilan akrab Bernadus, argumentasi itu tersebut hendak menggambarkan jika pembangunan LRT adalah sebuah keputusan politik maka pemerintah sudah menghitung semua resiko dari resiko keuangan, teknik dan politik.

“Kalau memang infrastruktur sudah jadi keputusan politik, dia tidak boleh berdiri sendiri, [infrastruktur] itu harus jadi bagian masterplan kota tersebut. Bagaimana nantinya LRT itu harus disambungkan dan dilanjutkan paska keputusan politik,” katanya.

Bernie juga menilai pernyataan Ridwan Kamil soal LRT Palembang sepi penumpang tidak perlu ditanggapi reaktif, karena dari sisi perencanaan ungkapan tersebut merupakan bagian dari tantangan sebuah perencanaan.

Menurutnya sepi atau tidaknya sebuah moda transportasi publik adalah siklus dari perkembangan transportasi modern.

“Antara pengguna, permintaan dan pasokan itu akan menjadi matang pada saat kapan. Yang disampaikan [Ridwan Kamil] pada publik itu sepi atau ridership rendah dalam perhitungan teknis itu sudah sangat biasa, ridership akan matang pada beberapa tahun ke depan tergantung strategi masterplan keseluruhan [Palembang],” paparnya.

LRT Palembang menurutnya tidak hanya sekedar urusan penumpang tiba-tiba ramai, atau menjadi sepi. Dia menilai pemerintah kota dan pihak pengelola kini dituntut menunjukan kemampuan menerapkan strategi transportasi modern yang terintegrasi.

Bernie mencontohkan Jakarta yang mengakuisi jalur-jalur angkutan kota untuk menciptakan pengumpan [feeder] bagi perasional bus dan LRT. “Jalur tradisional itu diakuisi agar sistem transportasi urban ini bisa jalan,” katanya.

Menurutnya kota-kota besar diluar DKI seperti Palembang, Bandung, Surabaya, Semarang, Makasar dan Medan membutuhkan transportasi publik modern seperti LRT terutama untuk memindahkan kebiasaan publik dari ekonomi berbasis kendaraan pribadi yang menguasai lalu lintas dalam 30 tahun terakhir.

Namun kota-kota tersebut mengalami situasi yang sama, yakni kesulitan fiskal daerah membiayai terwujudnya proyek-proyek tersebut.

“LRT Palembang itu dibangun ada triggernya Asian Games, itu kebutuhan politik untuk mendukung agenda nasional, terbukti kecuali DKI Jakarta, tidak ada yang mampu karena ketidakmampuan fiskal daerah,” tuturnya.

Bernie yang ikut terlibat dalam penyusunan LRT salah satunya di Kota Medan mengatakan kemampuan keuangan daerah atau kota untuk membeli dan membangun sistem layanan transportasi urban modern sangat terbatas.

Dari hasil kajiannya di Medan, untuk membangun 18 kilometer LRT yang ditopang 2 jalur Bus Rapid Transit dengan 20 unit BRT di satu koridor dibutuhkan biaya Rp15 triliun. “Itu tahun 2019. Jika 5 kota besar mengubah kebiasaan kendaraan pribadi ke transportasi publik modern maka yang dibutuhkan Rp75 triliun,” tuturnya.

Dari kondisi ini, Bernie menilai penting Pusat menekankan mensinergikan keputusan politik dengan perencanaan yang tepat. Menurutnya argumentasi terkait perencanaan seperti yang disampaikan Ridwan Kamil membawa pesan pentingnya Pusat melihat isu perkotaan seperti transportasi sebagai isu nasional.

"Intinya pemerintah pusat harus intervensi kalau urusan transportasi modern ini tidak bisa diselesaikan, kota-kota besar di Indonesia akan semakin berat dan tidak efisien,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Ajijah
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper